Populasi usia lanjut didefinisikan sebagai peningkatan proporsi penduduk usia lanjut, yang berusia minimal 60 tahun, dari seluruh total populasi. Penuaan populasi di Indonesia mulai muncul sebagai gambaran demografi pergeseran penduduk ke usia lanjut dari sekitar 6% selama periode 1950-1990, yang kini melampaui 8%, dan diprediksi meningkat tajam menjadi 13% pada tahun 2025 dan menjadi 25% di tahun 2050. Pada tahun 2025, diprediksi 1 dari 4 penduduk Indonesia dapat dikelompokkan sebagai orang berusia lanjut dibandingkan 1 dari 12 penduduk Indonesia saat ini. Dengan meningkatnya jumlah usila dari tahun ke tahun maka tentu saja masalah kesehatan usila menjadi masalah kesehatan yang harus dipahami secara mendalam. Secara alami, fungsi fisiologis dalam tubuh usia menurun seiring pertambahan usianya. Penurunan fungsi ini terjadi pada hampir semua sistem organ tubuh usila, termasuk sistem pencernaan yang dapat berakibat pada terjadinya malnutrisi.1
Prevalensi malnutrisi pada usila di dunia berdasarkan skor Mini Nutritional Assesment (MNA) adalah sebesar 22.8%, dengan responden yang berasal dari panti rehabilitasi, 50.5%; rumah sakit, 38.7%; dirawat di rumah, 13,8%, dan di masyarakat, 5.8%. Tetapi kelompok beresiko memiliki prevalensi sebesar 46.2%. Ini mengindikasikan bahwa dua per tiga responden memiliki resiko untuk terjadinya malnutrisi.2 Di Indonesia prevalensi malnutrisi pasien rawat jalan berdasarkan skor MNA adalah sebesar 2,14% dengan prevalensi pasien usila yang memiliki risiko malnutrisi sebesar 56,7%.3 Malnutrisi pada usila akan menurunkan kualitas hidup, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, memperpanjang masa rawat dan menyebabkan beban ekonomi.4
Tatalaksana pasien usila dengan malnutrisi didasarkan pada beberapa pilar yaitu tatalaksana penyebab malnutrisi dan perbaikan status gizi dengan mencegah terjadinya kehilangan berat badan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup, inisiasi pemberian nutrisi dengan tujuan untuk memperbaiki status fungsional, mencegah komplikasi yang berhubungan dengan penurunan berat badan, dan menurunkan morbiditas dan mortalitas. Pemberian nutrisi pada pasien usila dengan malnutrisi perlu mempertimbangkan kebutuhan individu pasien dan penyakit yang mendasari.5,6 Dalam tatalaksana nutrisi pasien yang tepat diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang memadai dan pendekatan multi disiplin dalam pelayanan gizi pasien.
Makalah laporan kasus ini dibuat untuk membahas lebih lanjut tentang proses identifikasi dan tatalaksana nutrisi pada pasien usila malnutrisi dengan pneumonia komunitas dan osteoartritis. Dengan pembuatan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam identifikasi dan tatalaksana nutrisi pasien usila dengan malnutrisi.
Untuk malnutrisi pada usila, Pergemi merekomendasikan tahapan awal asupan energi sebesar 10 kkal/kgBB/hari pada hari pertama (400 kkal/hari) kemudian ditambahkan sebesar 5 kkal/kgBB/hari pada hari berikutnya jika toleransi pasien baik.6 Pada pasien ini pemberian asupan makanan pada hari pertama diberikan sebesar 900 kkal dengan pertimbangan asupan makanan pasien selama sakit telah melebihi 10 kkal/kgBB, selain itu pasien ini mengalami hipermetabolisme sehingga asupan energi perlu segera ditingkatkan agar mencapai KET dalam 2-3 hari. Berdasarkan Dutch consensus asupan minimal pada usila dengan Malnutrisi adalah perhitungan KET ditambahkan 400 kkal/hari yaitu sebesar 1400 kkal/hari pada pasien ini. Perhitungan ini dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan status nutrisi pasien setelah KET tercapai.23 Pada pasien dengan starvasi asupan energi dapat ditingkatkan sampai 2xKEB setelah hari keenam.17 Pemberian protein pada pasien ini dimulai dari 0,8 g/kgBB agar fungsi ginjal pasien dapat beradaptasi dan protein akan dinaikkan bertahap hingga mencapai 1,5 g/kgBB yang direkomendasikan untuk pasien usila dengan malnutrisi untuk mengejar pembentukan kembali massa otot.24
Penyakit malnutrisi merupakan masalah serius bagi pasien dan keluarganya. Hal ini disebabkan karena penyakit ini apabila mengenai usila maka pengobatannya tidak mudah dan dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pasien ini mengalami malnutrisi derajat sedang karena berbagai macam faktor. Faktor ekonomi dimana pasien tidak mampu mendapatkan asupan makanan bergizi untuk memenuhi kebutuhan zat gizi hariannya dan tidak adanya yang merawat dirinya secara penuh karena kesemua anaknya telah berkeluarga, faktor adanya penyakit kronis yang dideritanya sehingga memperburuk malnutrisinya. Setelah menjalani perawatan selama lima hari di rumah sakit, pasien sudah mulai mau makan dengan teratur kembali. Pasien dua kali menjalani transfusi albumin, sehingga kadar albumin sudah sedikit meningkat. Penatalaksaan nutrisi pada pasien ini dilakukan dengan memperhatikan keadaan klinis, toleransi asupan, dan pemeriksaan penunjang. Pasien kembali pulang ke rumah dengan perbaikan dan saat ini pasien terus memperbaiki asupannya sesuai dengan edukasi yang sudah diberikan untuk dietnya di rumah.
Referensi:
- Fatmah, Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Penerbit Erlangga;2010.
- Kaiser MJ, Bauer JM. Mini Nutritional Assessment International Group. J Am Geriatr Soc 2010;58(9):1734–8.
- Setiati S, Istanti R, Andayani R, Kuswardhani RAT, Aryana IGPS, Putu ID, dkk. Cut-Off of antropometry measurement and nutritional status among elderly outpatient in Indonesia: Multi-centre study. Acta Med Indones-Indones J Intern Med. 2010;42:224-30
- Evans C. Malnutrition in the Elderly: A Multifactorial Failure to Thrive. The Permanente Journal. 2005;9:3
- Huffman GB. Evaluating and Treating Unintentional Weight Loss in the Elderly Brooke Grove Foundation Sandy Spring Maryland. 2002; 65:4
- Pergemi. Konsensus Pengelolaan Nutrisi Pada Orang Usia Lanjut. Jakarta: PB Pergemi; 2012
- Weimann MA. Nutritional Support in The Perioperative Period. Espen LLL Program 2015.
- Cederholm. ESPEN Congress Lisbon 2015 ESPEN diagnostic criteria for malnutrition 37th Espen Congress.
- Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. GLobal Prevalence of diabetes : Estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care. 2004;88:787-835.
- Wells JL, Dumbrell A. Nutrition and aging: assessment and treatment of compromised nutritional status in frail elderly patients. Clinical Interventions in Aging. 2006;1:67–79
- Onge MP, Gallagher D. Body composition changes with aging: The cause or the result of alterations in metabolic rate and macronutrient oxidation? NIH Public Access. Nutrition. 2010;26:2:152–155.
- Wellmann NS, Kamp BJ. Nutrition in Aging. Dalam: Mahan LK, Escott- Stump S, editor. Krause’s Food and Nutrition Therapy 12th ed. St.Louis: Saunders Elsevier; 2008:286-308
- Heimburger DC. Illness-Associated Malnutrition. Dalam: Heimburger DC, Ard JD, editor. Handbook of Clinical Nutrition 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006:229-41
- Hickson M. Malnutrition and Ageing. Postgrad Med J. 2006;82:2–8
- WHO. Global Database on Body Mass Index. 2004. Diunduh dari: http://apps.who.int/bmi/index.jsp?introPage=intro_3.html (7 Agustus 2016)
- Kaiser MJ. Validation of the Mini Nutritional Assessment short-form (MNA-SF): a practical tool for identification on nutritional status. J Nutr Health Aging. 2009;13:782-78
- Heimburger DC. Nutritional support: General approach and complications. Dalam: Heimburger DS, Ard JD, editor. Handbook of Clinical Nutrition 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006:274-7
- Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. 2003.
- PB Pabdi. Rekomendasi IRA untuk Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoartritis. 2014.
- Mennegpp. Penduduk lanjut usia. Diunduh dari : mennegpp.go.id (7 Agustus 2016).
- Yeh SS, Schuster MW. Geriatric cachexia: the role of cytokines. Am J Clin Nutr. 1999; 70:183-97
- Weiss G, Goodnoough LT. Anemia of chronic disease. N Engl J Med. 2005;352:1011-23
-Referensi lengkap ada pada penulis