Terapi Nutrisi Tuberkulosis Paru dengan Efusi Pleura

Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia, walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly Observed Treatment, Short-course (DOTs) telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995. Dalam laporan World Health Organizations (WHO) 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia.  Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.1,2

Malnutrisi dan TB adalah dua hal yang sangat berkaitan. Malnutrisi dapat meningkatkan resiko terjadinya TB, sebaliknya TB dapat menyebabkan pasien jatuh dalam keadaan malnutrisi. Prevalensi malnutrisi pada pasien-pasien TB sangat tinggi. Malnutrisi juga meningkatkan resiko dari kejadian infeksi TB menjadi TB Aktif. Pada saat diagnosis TB Aktif ditegakkan, keadaan malnutrisi memperburuk prognosis dan meningkatkan resiko terjadinya kekambuhan (relaps) bahkan kematian. Penderita TB juga mengalami perubahan metabolik yang dikenal sebagai anabolic block khususnya pada jalur sintesa protein, defisiensi nutrisi, dan sindrom malabsobrsi yang juga dapat terjadi pada kasus-kasus TB, termasuk TB paru.3-7

Panduan dan tinjauan sistematik untuk tatalaksana nutrisi pada tuberkulosis yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2014, Africa’s Health Project pada tahun 2010, Nutrition Information Centre of the University of Stellenbosch pada tahun 2009, dan berbagai literatur sumber pada makalah ini, secara garis besar telah memberikan panduan dan tinjauan sistematik yang dapat dipergunakan sebagai acuan dalam praktik klinik untuk penentuan kebutuhan makronutrien dan mikronutrien pasien-pasien tuberkulosis. Tak hanya kebutuhan zat gizi makro dan mikronutrien, interaksi antara obat-makanan, patogenesis terjadinya malabsorpsi, serta kaitan antara zat-zat gizi dengan imunitas serta perkembangbiakan kuman TB dapat menjadi bahasan masalah yang dapat menjawab apakah terapi nutrisi tak hanya sebagai pemenuh kebutuhan zat gizi pada pasien-pasien TB tetapi juga berguna sebagai terapi ajuvan pada kasus-kasus tuberkulosis.3-9

Makalah laporan kasus ini dibuat untuk membahas lebih lanjut tentang tatalaksana nutrisi pada pasien TB paru dengan efusi pleura dan berstatus gizi mengalami malnutrisi. Dengan pembuatan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam tatalaksana nutrisi pada pasien-pasien TB.

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia dan malnutrisi merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada penderita TB. Malnutrisi pada TB dapat disebabkan karena kurangnya asupan, terjadinya sindrom malabsorpsi pada saluran pencernaan penderita TB, defisiensi zat gizi, anoreksia karena adanya proses inflamasi, dan proses anabolic block yang terjadi pada infeksi TB. Malnutrisi menjadi faktor resiko untuk kegagalan terapi, rekurensi dan kematian pada TB. Oleh karena itu, pada saat penegakkan diagnosis TB paru ataupun saat evaluasi pengobatan, apabila ditemukan kasus malnutrisi, maka harus segera mendapat intervensi dari tim terapi gizi agar segera dimulai konseling dan asesmen gizi. Intervensi gizi pada penderita TB paru adalah mutlak. Penurunan berat badan yang tidak diinginkan pada penderita TB dapat terjadi selama proses pengobatan karena penyakit TB itu sendiri, maupun juga karena efek samping dari pemberian OAT.

Pasien dalam kasus ini didiagnosis malnutrisi berat pada TB paru dengan efusi pleura. Berat badan pasien adalah 39 kg, tinggi badan 165 cm. IMT 14.3 kg/m2. Kebutuhan energi dihitung berdasarkan rumus Harris-Benedict dan digunakan berat badan aktual pasien sebagai patokan perhitungan. Pada pasien ini diberikan perencanaan makan dengan protein 15%, lemak 25%, dan karbohidrat 60%. Kebutuhan cairan pada pasien ini adalah 30-35 ml/kgBB/hari=1170–1365 ml/hari. Mikronutrien yang direncanakan adalah seloxy 1×1 tablet yang mengandung beta karoten 10.000 IU, vitamin C 250 mg, vitamin E 200 IU, seng sulfat 20 mg dan selenium 30 mcg, asam folat 1×1 mg, serta pemberian vitamin B komplek 3×1 tablet.

Pasien pulang dengan perbaikan, asupan meningkat, selera makan membaik, dan tidak mengalami penurunan berat badan selama perawatan. Pasien diberikan edukasi gizi terkait penyakit malnutrisi berat dengan TB paru yang dideritanya.

Referensi:

  1. Kementrian Kesehatan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. 2014
  2. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.
  3. Guideline: Nutritional care and support for patients with tuberculosis. Geneva: World Health Organization; 2013.
  4. C. Macallan et al. Whole body protein metabolism in human pulmonary tuberculosis and undernutrition: evidence for anabolic block in tuberculosis Clinical Science. 1998;94(32):1–33
  5. Schwenk A et al. Nutrient partitioning during treatment of tuberculosis: gain in body fat mass but not in protein mass.  Am J Clin Nutr. 2004;79:1006–12.
  6. Lee SW, Kang YA, Yoon YS, et al. The Prevalence and Evolution of Anemia Associated with Tuberculosis. J Korean Med Sci. 2006;21(6):1028–
  7. Pinheria VG et al. Intestinal Permeability and Malabsorption of Rifampin and Isoniazid in Active Pulmonary Tuberculosis. Braz J Infect Dis. 2006;10(6):374–379
  8. Nutrition Information Centre of the University of Stellenbosch. Tuberculosis and Nutrition [Internet]. 2009 [Diakses 28 Agustus 2016]. Tersedia dari: http://www.sun.ac.za
  9. United States Agency for International Development (USAID). Nutrition and Tuberculosis: A review of the literature and considerations for TB control programs [Internet]. 2010 [Diakses 28 Agustus 2016]. Tersedia dari: http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadl992.pdf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *