Obesitas adalah permasalahan yang mendunia saat ini. Lebih kurang 30% penduduk dunia menderita obesitas. Gaya hidup sedenter dan pola makan berlebihan menjadi faktor utama terjadinya obesitas. Dari data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 didapatkan data bahwa di Indonesia terjadi peningkatan prevalensi obesitas dari tahun ke tahun. Prevalensi penduduk laki-laki dewasa obesitas pada tahun 2013 sebanyak 19,7 persen, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Sedangkan untuk perempuan, pada tahun 2013, prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9 persen, naik 18,1 persen dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 persen dari tahun 2010 (15,5%).1,2
Obesitas berkaitan dengan berbagai kondisi yang dapat menurunkan status kesehatan manusia. Obesitas dihubungkan sebagai faktor resiko untuk terjadinya diabetes melitus tipe 2, penyakit jantung, tekanan darah tinggi, nonalcoholic fatty liver, osteoartritis, beberapa tipe kanker seperti kanker payudara, kanker kolon, kanker endometrial, kanker ginjal, dan stroke. RISKESDAS menggunakan cut off point IMT untuk obesitas adalah ≥27 kg/m2 dimana ini tidak sesuai dengan yang saat ini berlaku untuk kawasan Asia Pasifik, dimana cut off point IMT untuk obesitas adalah ≥25 kg/m2, yang artinya bahwa prevalensi obesitas di Indonesia bisa jadi lebih besar dari data yang ada.3
Penanganan obesitas tentunya sangat berkaitan erat dengan manajemen pola asupan makan dan pola aktivitas. Saat ini panduan diet untuk penanganan obesitas masih terus berkembang. Tinjauan untuk panduan diet berdasarkan level of evidence dari berbagai studi meta analisis dan uji klinik telah dikemukakan di tahun 2013 oleh American College of Cardiology, American Heart Association, dan The Obesity Society. Panduan umum yang berlaku dalam berbagai macam panduan diet untuk obesitas yang memiliki “strength of evidence: high” adalah melakukan mekanisme menurunkan kalori dengan prinsip “deficit energy” tetapi penerapan pola diet untuk menurunkan kalori ini harus disesuaikan dengan kondisi klinis pasien saat memulai terapi, apalagi jika penderita obesitas telah mengalami komplikasi dari penyakitnya, seperti diabetes melitus yang ditambah dengan penyakit-penyakit infeksi seperti pneumonia dan tuberkulosis.4-6
Laporan kasus ini akan membahas tata laksana nutrisi pada pasien obesitas dengan diabetes melitus tipe 2, pneumonia, dan tuberkulosis paru. Diharapkan laporan kasus ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dalam tatalaksana pasien-pasien dengan kasus obesitas.
Obesitas menjadi salah satu permasalahan kesehatan dunia saat ini yang tidak pernah berhenti untuk dibicarakan mengenai bagaimana mengendalikannya. Berbagai upaya terapi khususnya dalam manajemen diet hingga terapi yang lebih radikal terus dikembangkan. Tak hanya dari aspek dietetik, berbagai penelitian terbaru akhir-akhir ini juga terus mencoba untuk lebih memahami obesitas dari aspek biomolekular, biokimia, fisiologi, farmakologi, dan sebagainya. Terapi obesitas memang harus berkembang seiring kemajuan jaman, karena bila tidak maka penyakit-penyakit dimana obesitas adalah faktor resikonya akan sulit dicegah untuk terjadi. Diabetes melitus adalah salah satu komplikasi dari obesitas yang sangat banyak dijumpai. Ketika seorang pasien didiagnosis menderita obesitas dan diabetes, maka terjadi perubahan manajemen terapi dalam hal tujuan intervensinya dan semuanya dilakukan demi memperbaiki outcome klinis pasien.
Diabetes merupakan faktor risiko independen terhadap terjadinya semua infeksi saluran nafas bagian bawah termasuk pneumonia dan TB paru. Kontrol glikemik optimal membuat outcome klinis pasien menjadi lebih baik, sehingga terapi gizi medis untuk pasien-pasien obesitas dengan diabetes mengacu pada kontrol glikemik yang baik pada pasien tersebut. Pada kasus-kasus infeksi, asupan protein juga harus cukup untuk mengimbangi terjadinya anabolic block.
Pasien dalam kasus ini didiagnosis Obesitas, Pneumonia, TB paru dengan riwayat hemoptisis, pada DM tipe 2. Berat badan pasien adalah 61 kg, tinggi badan 150 cm. Pada pasien ini diberikan perencanaan makan dengan protein 15%, lemak 25%, dan karbohidrat 60%. Kebutuhan cairan pada pasien ini adalah 30-35 ml/kgBB/hari=1830-2135 ml/hari. Kebutuhan serat sesuai rekomendasi dari ADA yaitu 14g/1000 kkal atau sekitar 22 g/hari. Mikronutrien yang direncanakan diberikan kepada pasien ini adalah vitamin B komplek 3×1 tablet, vitamin C 2×50 mg, asam folat 1×1 mg dan zink 1×20 mg.
Pasien pulang dengan perbaikan, gula darah terkontrol, tidak mengalami penurunan berat badan. Pasien diberikan edukasi gizi terkait obesitas, diabetes melitus, dan penyakit infeksi yang dideritanya.
Referensi:
- TFAH RWJF. The State of Obesity : Better Policies of Healthier America. Washington DC: Trust for America’s Health and Robert Wood Johnson Foundation;2015.
- RISET KESEHATAN DASAR. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI; 2013.
- Overweight and Obesity Statistic. U.S. Department of Health and Human Services:National Insitute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease;2010.
- Jensen et al. AHA/ACC/TOS Guideline for Obesity. 2014;63(25): 2985–3023
- Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Pusat Diabetes dan Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo-Departemen Kesehatan Republik Indonesia-World Health Organization. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2005.
- Guideline: Nutritional care and support for patients with tuberculosis. Geneva: World Health Organization; 2013.