Tatalaksana nutrisi pada anemia defisiensi besi terkait erat dengan adanya asupan besi yang tidak adekuat. Menjaga asupan besi adekuat bagi keperluan metabolisme maupun eritropoiesis harus menjadi prinsip dalam tatalaksana nutrisi pada anemia defisiensi besi. Asupan besi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh asupan makanan yang rendah besi. Pendekatan untuk mengatasi hal ini adalah dengan cara meningkatkan pengetahuan pasien akan pentingnya bahan makanan sumber zat besi, yaitu sumber zat besi heme yang berasal dari daging, unggas, ikan, dan hasil laut lainnya, non-heme yang berasal dari umbi-umbian, polong-polongan dan sayuran berdaun hijau. Selain bahan makanan sumber, pasien juga perlu diberikan edukasi tentang bahan makanan yang dapat meningkatkan penyerapan besi serta yang dapat menghambat penyerapannya. Bahan makanan yang dapat meningkatkan penyerapan besi antara lain buah-buahan, sayur mayur, kentang, kembang kol, kubis, kecap kedelai, makanan yang difermentasi, kecambah, serta bahan makanan lain yang merupakan bahan makanan sumber vitamin A, C, dan asam folat. Bahan makanan yang dapat menghambat penyerapan besi antara lain bahan makanan yang mengandung asam fitat, yaitu bahan makanan yang terdapat pada serealia, tepung olahan, polong-polongan, kacang-kacangan, dan biji-bijian. Makanan yang mengandung inositol yang tinggi juga berpotensi untuk menghambat penyerapan besi. Besi yang berasal dari bahan makanan sumber heme memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi dari yang berasal dari non-heme. Availabilitas besi dipengaruhi oleh konsumsi vitamin c dan protein yang berasal dari daging. Penyerapan besi dikurangi oleh adanya kandungan asam fitat, kalsium yang berasal dari susu dan olahan susu, dan polifenol (teh, kopi, infus herbal, oregano) pada makanan.
Selain jenis makanan, cara mengkonsumsi dan pengolahan makanan juga perlu menjadi perhatian. Mengkonsumsi teh, kopi, susu, satu jam sebelum atau dua jam sesudah makan tidak akan menghambat penyerapan besi karena diharapkan makanan telah melewati lambung. Konsumsi makanan-makanan yang dapat menghambat penyerapan besi pada satu waktu makan tertentu dan konsumsi makanan-makanan yang dapat meningkatkan penyerapan besi bersamaan dengan mengkonsumsi bahan makanan sumber zat besi.
Selain memperhatikan jenis makanan untuk mendapatkan asupan besi yang adekuat dari bahan makanan sumber zat besi, memberikan penyuluhan kepada pasien mengenai bahan makanan yang telah difortifikasi dengan zat besi juga diharapkan akan meningkatkan asupan zat besi dari makanan. Fortifikasi makanan dengan zat besi dilakukan di banyak negara termasuk Indonesia. Zat besi yang dapat digunakan untuk fortifikasi meliputi zat besi yang bersifat larut dan yang bersifat kurang larut. Zat besi yang bersifat larut antara lain fero sulfat, fero fumarat, fero glukonat dan feri amonium sitrat, sedangkan yang bersifat kurang larut antara lain feri ortofosfat, feri pirofosfat dan natrium pirofosfat. Dalam memilih zat besi sebagai fortifikan, di antara beberapa faktor tersebut yang paling utama harus mendapatkan perhatian adalah bioavailabilitas relatifnya. Senyawa besi yang dipilih haruslah berupa jenis zat besi yang tingkat penyerapannya dalam usus cukup tinggi. Jika dipilih fortifikan dengan bioavalabilitas relatif kecil, maka untuk mencapai target pemenuhan kebutuhan zat gizi yang diinginkan diperlukan fortifikan dalam jumlah besar. Besarnya jumlah fortifikan akan berdampak pada tingginya harga dan kemungkinan timbulnya efek rasa yang tidak diinginkan. Fero sulfat merupakan fortifikan yang sering digunakan untuk fortifikasi roti dan tepung terigu. Fero fumarat banyak digunakan untuk fortifikasi makanan sapihan yang terbuat dari campuran jagung, kedelai dan susu. Penyerapan fero fumarat hampir sama dengan fero sulfat jika diberikan dalam bentuk suplemen, namun jika digunakan untuk fortifikasi penyerapannya akan lebih rendah. Fero glukonat mudah diserap tetapi harganya relatif mahal dan banyak digunakan untuk fortifikasi susu dan makanan formula bayi yang terbuat dari kedelai. Feri amonium sitrat digunakan dalam makanan formula bayi dan tepung terigu. Sedangkan feri ortofosfat dan natrium feri pirofosfat digunakan untuk fortifikasi serealia, tetapi penggunaan kedua senyawa ini sangat terbatas karena ketersedian secara biologisnya sangat rendah.
Pemberian tablet besi juga termasuk dalam pilar tatalaksana terapi anemia defisiensi besi. Dosis besi elemental yang dibutuhkan untuk terapi anemia defisiensi besi untuk dewasa adalah 120 mg per hari selama 3 bulan, sedangkan pada anak adalah 3 mg per kilogram berat badan per hari. Peningkatan hemoglobin sebesar 1 g/dL setelah menjalani satu bulan terapi menunjukkan respon terapi yang baik dan mengkonfirmasi diagnosis anemia defisiensi besi. Pada dewasa, terapi harus dilanjutkan selama 3 bulan setelah anemia terkoreksi agar cadangan besi kembali tergantikan. Efek samping dari penggunaan tablet besi antara lain rasa tidak nyaman pada epigastrium, mual, muntah, diare, dan konstipasi. Efek ini dapat dikurangi apabila tablet besi dikonsumsi bersamaan dengan makanan, tetapi absorpsinya akan berkurang hingga 40%. Obat-obatan seperti proton pump inhibitors dan faktor-faktor lain yang menghambat pengeluaran asam lambung (chronic atrophic gastritis, recent gastrectomy, vagotomy) menyebabkan penurunan absorpsi besi dari makanan maupun tablet besi. Setelah pemberian tablet besi, dilakukan evaluasi bulanan Cell Blood Count (CBC) untuk melihat ada atau tidaknya perbaikan pada jumlah sel darah merah dan hematokrit, bila terdapat perbaikan maka terapi dilanjutkan selama 3 bulan dan dihentikan setelah level hematokrit dan ferritin menjadi normal. Namun, apabila terapi tidak menunjukkan perbaikan maka harus dilakukan evaluasi penyebab anemia atau pemberian terapi besi parenteral maupun transfusi.
Terapi besi parenteral disarankan pada pasien-pasien yang tidak dapat menoleransi atau menyerap tablet besi dengan baik, utamanya pada mereka-mereka yang memiliki gangguan penyerapan besi pada saluran pencernaan, seperti telah dilakukannya gastrektomi, gastrojejunostomi, bedah bariatrik, atau pembedahan pada usus halus lainnya.
Asam askorbat (vitamin C) sintetik maupun alami yang terdapat di makanan akan meningkatkan absorpsi besi. Asam askorbat meningkatkan absorpsi ferrous sulphate, ferric ammonium citrate, ferric orthophospate, ferrous fumerate, dan besi elektrolitik. Efek peningkatan ini bergantung pula pada dosis asam askorbat yang diberikan. Dosis kurang dari 25 mg ternyata tidak mampu untuk membantu peningkatan absorpsi besi. Asam askorbat yang diberikan tidak bersamaan dengan makanan juga tidak dapat membantu penyerapan besi. Asam askorbat tampaknya akan dapat menikatkan penyerapan besi yang terkandung dalam makanan yang telah mengalami fortifikasi zat besi serta dikonsumsi bersamaan dengan makanan tersebut. Selain asam askorbat, karotenoid seperti lutein, zeaxanthin, dan likopen, telah menunjukan aktivitas meningkatkan absorpsi besi apabila diberikan bersamaan dengan produk gandum. Mekanisme ini dimungkinkan karena karoten dapat membentuk komplek karoten-besi yang menghambat efek asam fitat dan polifenol. Efek asam askorbat dan karotenoid terhadap penyerapan besi pada manusia masih terus diteliti hingga saat ini.
Tabel Formulasi dan Dosis Terapi Besi
| Bentuk | Formulasi | Besi Elemental | Dosis Dewasa |
| Intravena | |||
| Sodium ferric gluconate | Larutan injeksi | 12.5 mg per mL | Berdasarkan berat badan dan jumlah kenaikan hemoglobin yang diharapkan* |
| Iron dextran | Larutan injeksi | 50 mg per mL | |
| Iron sucrose | Larutan injeksi | 20 mg per mL | |
| Ferumoxytol | Larutan injeksi | 30 mg per mL | |
| Oral | |||
| Ferrous fumarate | 324-mg tablet | 106 mg | 2 x 1 tablet/hari |
| Ferrous gluconate | 300-mg tablet | 38 mg | Satu–tiga tablet, 2–3 kali/hari |
| Ferrous sulfate | 325-mg tablet | 65 mg | 3 x 1 tablet/hari |
| *—Elemental iron (mg) = 50 × (0.442 [desired hemoglobin level in g per L – observed hemoglobin level in g per L] × lean body weight + 0.26 × lean body weight). |
Analisis asupan makanan untuk mengetahui riwayat konsumsi dari bahan makanan yang mengandung besi dapat dilakukan dengan berbagai teknik. Food record dapat dilakukan sekurang-kurangnya selama 11 hari agar dapat menilai asupan besi dengan akurat. Sebuah studi di Belgia menunjukkan bahwa food record selama dua hari sudah dapat menunjukkan perkiraan asupan besi pada wanita usia 18–39 tahun. Selain food record, food frequency questionaire (FFQ) dalam berbagai studi masih merupakan analisis asupan makanan yang paling sering dilakukan untuk melihat pola makan, tetapi kelemahannya adalah untuk melakukan FFQ terhadap satu jenis nutrien, diperlukan tes validitas data terlebih dahulu terhadap formulir yang akan digunakan.
Tabel Jadwal Rekomendasi Pemberian Suplementasi Besi Untuk Pencegahan Anemia Defisiensi Besi
| Usia | Indikasi | Dosis | Durasi |
| Bayi BBLR | Suplementasi universal | 2 mg/kgBB/hari | Sejak usia 2-23 bulan |
| Anak, 6-23 bulan | Bila tidak mengkonsumsi makanan yang difortifikasi dengan besi atau bila prevalensi anemi di atas 40% | 2 mg/kgBB/hari | Sejak usia 6-23 bulan |
| Anak, 24-59 bulan | Bila prevalensi anemi di atas 40% | 2 mg/kgBB/hari hingga 39 mg | 3 bulan |
| Anak usia sekolah, di atas 60 bulan | Bila prevalensi anemi di atas 40% | Besi: 30 mg/hari Folic acid: 250 μg/hari | 3 bulan |
| Wanita usia reproduksi | Bila prevalensi anemi di atas 40% | Besi: 60 mg/hari Folic acid: 400 μg/hari | 3 bulan |
| Ibu hamil | Suplementasi universal | Besi: 60 mg/hari Folic acid: 400 μg/hari | Sesegera mungkin setelah masa gestasi dimulai, tidak lebih lambat dari 3 bulan dan dilanjutkan hingga akhir masa kehamilan |
| Ibu menyusui | Bila prevalensi anemi di atas 40% | Besi: 60 mg/hari Folic acid: 400 μg/hari | 3 bulan paska melahirkan |
-Referensi lengkap ada pada penulis