Luka bakar adalah suatu bentuk trauma berat yang dapat terjadi serta menjadi krisis masalah kesehatan secara global. Lebih kurang 90% dari luka bakar di dunia terjadi di negara dengan penduduk yang berpenghasilan rendah.1-4 Di Unit Luka Bakar RSCM Jakarta, didapatkan 275 kasus luka bakar selama periode Januari 2011 sampai Desember 2012 dengan angka mortalitas 27,6% (76 pasien). Penyebab kematian utama pada pasien luka bakar berat antara lain karena sepsis sebesar 42,1%, kegagalan organ multipel sebesar 31,6%, systemic inflammatory response syndrome (SIRS) sebesar 17,6% dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) sebesar 8,7%.5
Paska terjadinya luka bakar berat, pasien berada pada dua fase yang membutuhkan penanganan yang spesifik pada masing-masing kondisi. Fase pertama adalah fase hipometabolik yang disebut sebagai fase ebb yang diikuti oleh fase hipermetabolik yang disebut sebagai fase flow yang terjadi sebagai respon stres yang membutuhkan penanganan dari tim luka bakar yang meliputi intervensi farmakologis dan non-farmakologis. 6,7
Terapi nutrisi masuk dalam manajemen non farmakologis yang memegang peranan penting dalam tim luka bakar. Terapi nutrisi pada luka bakar bertujuan untuk memodulasi gangguan metabolisme yang terjadi sebagai respon stres luka bakar, memberikan nutrisi penunjang penyembuhan luka, mencegah terjadinya infeksi, menjaga status nutrisi tetap dalam kondisi normal, dan pada akhirnya menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat luka bakar berat.6-8
Respon patofisiologis dari kondisi hipermetabolisme memainkan peranan utama pada keadaan akut dan jangka panjang pada pasien luka bakar berat yang berada dalam kondisi terpapar stres oksidatif yang tinggi, mengalami kondisi inflamasi yang tinggi, serta pemanjangan pada fase hipermetabolik dan respon katabolik. Atas kondisi yang mendasari tersebut, maka luka bakar yang terjadi pada lebih dari 20% dari total body surface area (TBSA) memiliki karakterisasi adanya pelepasan stres hormon, resistensi insulin, hiperglikemia, lipolisis dan katabolisme. Pada pasien luka bakar berat juga dapat terjadi kerusakan pada mukosa usus serta translokasi bakteri usus. Hal ini dapat menyebabkan terjadi penurunan absorpsi nutrisi. 9,10
Pemberian nutrisi enteral dini yang dapat diberikan dalam 24 jam paska terjadinya luka bakar telah sejak lama diketahui memberikan hasil yang baik pada pasien-pasien luka bakar. Dengan pemberian nutrisi enteral dini terjadi modulasi yang signifikan pada level katekolamin dan integritas mukosa saluran cerna yang mencegah terjadinya hipoperfusi intestinal yang terjadi akibat keterlambatan resusitasi dan reperfusi ke area splanknik.9,10
Dengan dukungan nutrisi yang adekuat diharapkan pada hari ketiga paska luka bakar terapi nutrisi mulai dapat mencukupi kebutuhan energi yang diperlukan, menurunkan level kortisol plasma dan level glukagon yang pada akhirnya akan mereduksi respon hipermetabolik. Untuk mencapai keberhasilan dalam terapi nutrisi pada pasien luka bakar berat maka saat ini beberapa lembaga serta sentra-sentra kesehatan dunia yang memiliki unit luka bakar telah membuat panduan yang membahas mengenai terapi nutrisi sebagai bagian dari manajemen pasien luka bakar.11 Hingga saat ini, The American Burn Association tetap merekomendasikan pemberian nutrisi enteral pada fase akut pada 24 jam paska terjadinya luka bakar, hal ini juga selaras dengan apa yang dikemukakan oleh European Society of Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN).12
Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis membuat sebuah laporan kasus yang membahas tentang kondisi luka bakar yang mempengaruhi keputusan dalam pengambilan terapi nutrisi, perubahan metabolisme yang terjadi pada luka bakar, asesmen nutrisi pada luka bakar, penentuan dan perhitungan kebutuhan nutrisi pada luka bakar yang meliputi makronutrien, mitronurien, nutrien spesifik, serta jalur pemberian nutrisi pada pasien sakit kritis akibat luka bakar yang pada laporan kasus ini disebabkan oleh listrik yang merupakan salah satu penyebab terjadinya luka bakar berat.
Referensi:
- Forjuoh SN. Burns in low- and middle-income countries: a review of available literature on descriptive epidemiology, risk factors, treatment, and prevention. Burns 2006;32(5):529
- Peck MD, Kruger GE, van der Merwe AE, Godakumbura W, Ahuja RB. Burns and fires from non-electric domestic appliances in low and middle income countries Part I. The scope of the problem. Burns 2008;34(3):303
- Peck M, Pressman MA. The correlation between burn mortality rates from fire and flame and economic status of countries. Burns 2013;39(6):1054
- Murray CJL, Lopez, AD. The global burden of disease: a comprehensive assessment of mortality and disability from diseases, injuries, and risk factors in 1990 and projected to 2020, World Health Organization, Swizerland 2006
- Martina NR, Wardhana A. Mortality Analysis of Adult Burn Patients. J Plast Rekonstr [Internet]. 2013 [diunduh 2017 Juli 18];2(2). Available from: http://jprjournal.com/index.php/jpr/article/view/155
- Bakhtyar N, Sivayoganathan T, Jeschke MG. Therapeutic Approaches to Combatting Hypermetabolism in Severe Burn Injuries. J Intensive & Crit Care 2015;1:1.
- Kathryn L. Hall, Shahriar Shahrokhi and Marc G. Jeschke. Enteral Nutrition Support in Burn Care: A Review of Current Recommendations as Instituted in the Ross Tilley Burn Centre. Nutrients 2012;4:1554-1565
- Rodriguez, N.A.; Jeschke, M.G.; Williams, F.N.; Kamolz, L.P.; Herndon D.N. Nutrition in burns Galveston contributions. JPEN J. Parenter. Enteral Nutr. 2011;35:704–714.
- Deitch EA. Intestinal permeability is increased in burn patients shortly after injury. Surgery 1990;107:411-416.
- Van Elburg RM, Uil JJ, de Monchy JG, Heymans HS. Intestinal permeability in pediatric gastroenterology. Scand J Gastroenterol Suppl 1992;194:19-24.
- McDonald WS, Sharp CW, Jr., Deitch EA. Immediate enteral feeding in burn patients is safe and effective. Ann Surg 1991;213:177-183.
- Rousseau et al. ESPEN endorsed recommendations: Nutritional therapy in major burns. Clinical Nutrition 2013;32:497-502