Terapi Nutrisi pada Pasien dengan Prolonged Fever et Cause Tuberkulosis Diseminata & Hospital Acquired Pneumonia

Infeksi saluran napas bagian bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Sedangkan dari data SEAMIC Health Statistic 2001, pneumonia (bersama-sama dengan influenza), merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia.1 Angka prevalensi pneumonia pada waktu tertentu di Indonesia meningkat dari 2,1% pada tahun 2007 menjadi 2,7% pada tahun 2013.   Pneumonia nosokomial atau Hospital Acquired Pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit menduduki peringkat ke-2 sebagai infeksi nosokomial di Amerika Serikat. Angka kematian pada HAP adalah diperkirakan sebesar 20-50%.2 Selain pneumonia, penyakit infeksi paru-paru dengan prevalensi yang tinggi di Indonesia adalah tuberkulosis paru (TB). Pada tahun 2015, berdasarkan data RISKESDAS, proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis di antara pasien terduga TB di Indonesia adalah sebesar 14%.3

Masalah nutrisi yang menjadi garis besar dalam permasalahan penyakit paru adalah pencegahan terjadinya malnutrisi selama pasien dalam perawatan, terlebih lagi apabila pasien datang dalam keadaan sudah mengalami malnutrisi atau beresiko terjadinya malnutrisi. Kondisi malnutrisi dapat menggangu fungsi otot-otot pernapasan, kemampuan ventilasi, respon adaptasi tubuh terhadap kondisi hipoksia, perubahan respon imun/kemampuan pertahanan paru-paru terhadap infeksi, penurunan produksi surfaktan paru, penurunan elastisitas paru, dan penurunan kemampuan paru untuk memperbaiki jaringan paru yang rusak.4-5 Selain kondisi malnutrisi yang harus dicegah, terdapat penyulit lain dari keluhan subjektif pasien seperti sesak napas dan batuk yang dapat semakin memberat selama proses makan berlangsung dan setelah makan. Rasa cepat kenyang (early satiety), pengelolaan fatigue, dan anoreksia, seringkali terjadi dan mempengaruhi kemampuan asupan makan pasien. Kondisi demam lama (prolonged fever) yang dapat terjadi pada infeksi TB khususnya TB diseminata, dapat meningkatkan kebutuhan pasien akan energi dan khususnya protein. Kondisi objektif dari paramater laboratorium seperti kondisi anemia, hipoalbuminemia, abnormalitas analisa gas darah,  juga menambah daftar permasalahan pada pasien-pasien dengan infeksi paru yang mempengaruhi metabolisme dan transportasi nutrien selama masa perawatan dan rehabillitasi.Penggunaan medikasi selama pengobatan juga secara tidak langsung dapat menjadi penyulit nutrisi, akibat adanya efek samping obat yang dapat menurunkan nafsu makan, menyebabkan mual dan muntah, diare, perubahan rasa makanan, dan rasa kering pada mulut dan tenggorokan.6-8

Penatalaksanaan gizi pada laporan kasus ini akan membahas tentang bagaimana intervensi nutrisi, tidak hanya berfungsi sebagai energi untuk keberlangsungsan metabolisme pada pasien, tetapi juga berperan dalam meningkatkan sistem imunitas tubuh untuk melawan infeksi. Dari sebuah ulasan dari berbagai penelitian mengemukakan bahwa beberapa jenis infeksi seperti pneumonia dan TB sangat erat kaitannya dengan kondisi defisiensi nutrisional yang telah terbukti dapat menurunkan imunitas tubuh, khususnya kemampuan imunitas seluler, fungsi fagosit, produksi sitokin, respon antibodi, afinitas antibodi, serta sistem komplemen.9 Penelitian Farazi dan kawan-kawan dalam sebuah uji klinis yang mengikutsertakan 63 pasien dengan uji bakteri tahan asam positif, mengemukakan bahwa suplementasi L-arginin pada pasien-pasien dengan TB memiliki hasil yang baik pada perbaikan klinis dan proses penyembuhan.10 Studi tentang suplementasi seng pada penyakit-penyakit infeksi akut saluran pernapasan bawah, termasuk pneumonia, memiliki hasil yang beragam. Pada studi yang dilakukan di Asia, dikatakan bahwa suplementasi seng dapat memperbaiki kondisi klinis pada pasien-pasien dengan pneumonia.11 Sedangkan studi lain yang dilakukan di Itali dan India, memiliki kesimpulan bahwa suplementasi seng tidak memberi manfaat yang signifikan pada kasus-kasus pneumonia.12,13  Dari penelitian yang dilakukan Huang, Aibana, dan Martineau dikemukakan manfaat vitamin A dan D dalam pencegahan terjadinya infeksi dan meningkatkan imunitas tubuh.14-16

Berdasarkan hal tersebut, pada laporan kasus ini perlu dikaji lebih lanjut tentang bagaimana tata laksana nutrisi pada pasien yang menderita TB diseminata dan HAP agar dapat menjadi gambaran tata laksana nutrisi pada pasien-pasien dengan infeksi paru-paru, khususnya Pneumonia dan TB.

Terapi nutrisi adalah bagian penting dalam tata laksana pasien-pasien dengan infeksi paru, khususnya tuberkulosis dan pneumonia. Dukungan nutrisi yang baik dapat mendukung proses metabolisme pada pasien yang seringkali berada dalam kondisi hipermetabolisme, memodulasi sistem imunitas tubuh, dan juga sebagai terapi ajuvan yang dapat memperbaiki keluaran klinis serta keberhasilan terapi.   

Pasien pada laporan kasus adalah perempuan berusia 39 tahun dengan diagnosis TB diseminata dan HAP. Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien menggunakan formula Harris-Benedict. Pada hari pertama target kalori ditargetkan sesuai kebutuhan basal pasien. Nutrisi diberikan secara bertahap, dengan tujuan pada hari ke-3 perawatan pasien sudah mendapatkan nutrisi sesuai dengan kebutuhan energi total pasien. Hal ini berguna untuk mencegah malnutrisi yang akan semakin memperberat penyakit. Malnutrisi pada TB dapat disebabkan karena kurangnya asupan, terjadinya sindrom malabsorpsi pada saluran pencernaan penderita TB, defisiensi zat gizi, anoreksia karena adanya proses inflamasi, dan proses anabolic block yang terjadi pada infeksi TB.  Komposisi makronutrien diberikan sebesar karbohidrat 40-60%, protein 15-20%, dan lemak sebesar 20-40%. Suplementasi arginin hingga 6 gram/hari dapat diberikan dalam bentuk formula komersial yang mengandung arginin. Mikronutrien yang dapat diberikan pada pasien ini adalah vitamin B komplek 3×2 mg, asam folat 1×1 mg, vitamin C 2×50 mg, seng 1×20 mg, vitamin D 3×400 IU, dan vitamin A dalam bentuk retinil asetat sebesar 5000 IU/hari. Pada akhir perawatan, pasien sudah mulai mengalami perbaikan yang ditandai dengan asupan meningkat, selera makan membaik, dan tidak mengalami penurunan berat badan selama perawatan. Pasien diberikan edukasi gizi terkait pentingnya asupan makanan selama masa perawatan untuk proses penyembuhan penyakit.

Referensi:

  1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta: PDPI, 2003
  2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Nosokomial. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta: PDPI, 2003
  3. Kementerian Kesehatan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2015
  4. Aurora N, Rochester, D. Am Rev Respir Dis 126:5-8, 1982
  5. Aurora N, Rochester D. Respirat Environ Exercise physiol 52:64-70, 1982
  6. Stewart R, Griffith University. School of Public Health. Griffith handbook of clinical nutrition and dietetics. 4th ed. Southport, Qld: Griffith University, School of Public Health; 2012.
  7. Heimburger DC. Handbook of Clinical Nutrition.4th edition. Philadelphia; Elsevier, 2006.
  8. DeBruyne, Linda K, Pinna, Kathryn Whitney, Eleanor N, Corinne B. Nutrition and Diet Therapy: Principles and Practice. Belmond, CA: Thomson Wadsworth, 2008.
  9. Chandra RK. Nutrition, immunity and infection: From basic knowledge of dietary manipulation of immune responses to practical application of ameliorating suffering and improving survival. Proc. Natl. Acad. Sci  1996;93: 14304–14307
  10. Farazi A, Shafaat O, Sofian M, Kahbazi M. Arginine Adjunctive Therapy in Active Tuberculosis. Tuberculosis Research and Treatment 2015;15:1-5
  11. Roth DE, Richard SA, Black RE. Zinc supplementation for the prevention of acute lower respiratory infection in children in developing countries: meta-analysis and meta-regression of randomized trials. International Journal of Epidemiology 2010; 39(3):795–808.
  12. Shah et al. Role of zinc in severe pneumonia: a randomized double bind placebo controlled study. Italian Journal of Pediatrics 2012;38:36
  13. Bose A et al. Efficacy of zinc in the treatment of severe pneumonia in hospitalized children  <2 y old. Am J Clin Nutr 2006;83:1089–96

Catatan: Referensi lain ada pada penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *