Pasien pada laporan kasus ini adalah laki-laki berusia 39 tahun dengan diagnosis pada perawatan gizi pertama kali adalah penurunan kesadaran et causa ensefalopati uremikum, gagal napas on ventilator, pneumonia komuniti, dan PGK stadium akhir dengan hemodialisis. Pasien masuk rumah sakit pada tanggal melalui instalasi gawat darurat (IGD) dengan keluhan sesak napas berat. Pada saat di IGD, diagnosis pasien adalah PGK overload dengan anemia dan uremikum serta gagal napas. Saat di IGD pasien menjalani hemodialisis sebanyak 2 kali. Pasien dipuasakan untuk jalur enteral dan mendapat nutrisi total parenteral berupa Nutriflex special® sebanyak 625 ml/24 jam. Pasien mendapat perawatan di IGD selama 5 hari kemudian dipindahkan ke ICU IGD pada hari perawatan ke-5 atas indikasi gagal napas tipe 1 dan memerlukan dukungan ventilator. Diagnosis saat pasien tranfer adalah gagal napas on ventilator, penurunan kesadaran ec uremikum dengan diagnosis banding hipoksik iskemik ensefalopati, atelektasis paru kanan, PGK stadium 5 dengan hemodialisis, anuria, overload, asidosis metabolik, hipokalsemia, hiperfosfatemia, anemia, hemetemesis et causa stress ulcer, riwayat hipoglikemia, dan riwayat takikardi supraventrikular.
Kriteria pasien masuk dalam perawatan ICU dapat berdasarkan diagnosis dan parameter objektif. Termasuk dalam klasifikasi berdasarkan diagnosis antara lain diagnosis sistem pernapasan seperti perburukan fungsi pernapasan dan gagal napas akut yang membutuhkan bantuan ventilator serta adanya ancaman intubasi sebagaimana yang terjadi pada pasien ini. Diagnosis pada sistem pernapasan lainnya adalah adanya emboli paru dengan hemodinamik tidak stabil, dan hemoptisis masif.
Diagnosis lainnya yang dapat menjadi kriteria pasien masuk ICU adalah diagnosis kardiovaskular, diagnosis neurologis (stroke akut dengan penurunan kesadaran, koma metabolik/toksik/anoksia, perdarahan intrakranial dengan potensi herniasi, perdarahan subarachnoid akut, meningitis dengan penurunan kesadaran atau gangguan pernapasan, penyakit sistem saraf pusat atau neuromuskuler dengan penurunan fungsi neurologis atau pernapasan seperti myasthenia gravis dan sindroma Guillaine-Barre, status epileptikus, mati batang otak atau berpotensi mati batang otak yang direncanakan untuk dirawat secara agresif untuk keperluan donor organ, vasospasme, dan cedera kepala berat), diagnosis overdosis obat atau keracunan obat dengan penurunan kesadaran atau hemodinamik tidak stabil/ketidakmampuan proteksi jalan napas atau adanya kejang setelah keracunan obat, penyakit gastrointestinal (perdarahan gastrointestinal yang mengancam nyawa, gagal hati fulminan, pankreatitis berat, perforasi esofagus), diagnosis endokrin (ketoasidosis diabetikum dengan komplikasi hemodinamik tidak stabil, penurunan kesadaran, pernapasan tidak adekuat atau asidosis berat, krisis tiroid atau miksedema dengan hemodinamik tidak stabil, kondisi hiperosmolar dengan koma atau hemodinamik tidak stabil, krisis adrenal dengan hemodinamik tidak stabil, hiperkalsemia berat dengan penurunan kesadaran dan membutuhkan monitoring hemodinamik, hipo/hipernatremia dengan kejang atau penurunan kesadaran, hipo/hipermagnesemia dengan hemodinamik terganggu atau disritmia, hipo/hiperkalemia dengan disritmia atau kelemahan otot, hipofosfatemia dengan kelemahan otot), diagnosis bedah yaitu pada pasien-pasien paska operasi yang membutuhkan monitoring hemodinamik atau bantuan ventilator. Sedangkan diagnosis lain-lain yang memerlukan dukungan ICU adalah kondisi syok sepsis dengan hemodinamik tidak stabil, trauma berat, dan kondisi klinis lain yang memerlukan perawatan setingkat ICU.
Kriteria masuk dalam perawatan ICU berdasarkan parameter objektif antara lain dilihat dari tanda-tanda vital seperti nadi (<40 kali atau >140 kali/menit), tekanan darah sistolik arteri <80 mmHg atau 20 mmHg di bawah tekanan darah pasien sehari-hari, mean arterial pressure <60 mmHg, tekanan darah diastolik arteri >120 mmHg, frekuensi napas >35 kali/menit. Nilai laboratorium juga dapat merupakan kriteria pasien masuk ICU, yaitu pasien-pasien dengan nilai laboratorium sebagai berikut: (1) natrium serum <110 mEq/L atau >170 mEq/L; (2) kalium serum <2,0 mEq/L atau >7 mEq/L, PaO2 <50 mmHg, pH<7,1 atau >7,7, glukosa serum >800 mg/dL, kalsium serum >15 mg/dL. Sedangkan parameter objektif lainnya adalah gambaran radiografi/ultrasnografi/tomografi (perdarahan vaskular otak, kontusio atau perdarahan subarachnoid dengan penurunan kesadaran atau tanda-tanda defisit neurologis, ruptur organ dalam dengan hemodinamik tidak stabil, diseksi aneurisma aorta), gambaran elektrokardiogram, dan pemeriksaan fisik dengan onset akut (pupil anisokor pada pasien tidak sadar, luka bakar derajat berat, anuria, obstruksi jalan napas, koma, kejang berlanjut, sianosis, dan tamponade jantung).
Pasien pada laporan kasus ini adalah pasien dengan prioritas 2 pada kriteria masuk ICU. Pasien yang termasuk dalam prioritas ini adalah pasien sakit kritis yang memerlukan pelayanan canggih di ICU, sebab sangat beresiko bila tidak mendapatkan terapi intensif dengan segera. Pasien yang tergolong dalam prioritas 2 adalah pasien yang menderita penyakit dasar jantung-paru, gagal ginjal akut dan berat, dan pasien-pasien yang telah mengalami pembedahan mayor. Pasien-pasien dalam prioritas 2 terapinya tidak mempunyai batas karena kondisi mediknya senantiasa berubah.
Pasien dengan prioritas 1 adalah pasien-pasien sakit kritis tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan tertitrasi seperti pasien paska bedah kardiotoraksik, sepsis berat, gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa. Prioritas 3 adalah pasien sakit kritis yang tidak stabil status kesehatan sebelumnya oleh karena adanya penyakit yang mendasari, atau penyakit akutnya, secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan atau manfaat terapi di ICU pada kriteria ini sangat kecil. Sebagai contoh pasien dengan prioritas 3 adalah pasien dengan keganasan metastasis disertai penyulit infeksi, tamponade perikardial, sumbatan jalan napas, dan pasien penyakit jantung-paru terminal yang disertai komplikasi penyakit akut berat. Pengelolaan pada pasien kriteria ini hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, tetapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru. Pasien dengan prioritas 4 adalah pasien-pasien yag bukan merupakan indikasi masuk ICU, yaitu pasien-pasien dengan keadaan terlalu baik atau terlalu buruk untuk mendapatkan perawatan ICU.
Anamnesis dan data sekunder pada pasien ini memberikan data bahwa pada saat masuk di IGD kondisi pasien sudah dalam kondisi berat yang ditandai dengan keadaan sesak napas berat, adanya overload cairan, dan terjadi penurunan kesadaran disertai gagal napas yang memerlukan dukungan ventilator. Penyakit yang mendasari pasien ini hingga akhirnya menyebabkan pasien masuk dalam perawatan ICU adalah PGK stadium akhir.
Penyakit ginjal kronik terjadi karena hilangnya sejumlah besar nefron fungsional yang progresif dan ireversibel. Gejala-gejala klinis berat sering kali tidak muncul sampai jumlah nefron berkurang sedikitnya 70-75% di bawah normal.
Menurut National Kidney Foundation kriteria penyakit ginjal kronik adalah: (1) Kerusakan ginjal ≥3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional dari ginjal, dengan atau tanpa berkurangnya laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi berupa kelainan patologi atau kelainan laboratorik pada darah, urin, atau kelainan pada pemeriksaan radiologi; (2) LGF <60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama >3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. KDIGO pada tahun 2012 juga mendefinisikan penyakit ginjal kronis sebagai suatu kelainan yang terjadi pada ginjal, baik struktur maupun fungsi, yang telah terjadi selama lebih dari 3 bulan, dengan beberapa kriteria penanda.
Beberapa penyebab tersering PGK stadium akhir adalah diabetes melitus, hipertensi, glomerulonefritis, dan penyakit ginjal polikistik. Pasien ini memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol dan tidak teratur minum obat sejak lama. Pasien juga mengalami obesitas sejak kecil. Diketahui bahwa obesitas, diabetes melitus, dan amiloidosis adalah etiologi gangguan metabolisme yang dapat mencetuskan PGK. Obesitas menyebabkan PGK melalui mekanisme terjadinya hipertensi glomerulus, kerusakan glomerulus, dan hiperfiltrasi glomerulus. Adiposit memproduksi angiotensinogen yang merupakan prekursor angiotensin II yang merupakan hormon yang akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan meningkatkan tekanan darah. Adiposit juga memproduksi leptin, yang merupakan sitokin yang secara langsung dan tidak langsung akan memicu peningkatan aktivitas simpatis dan menyebabkan vasokonstriksi eferen. Lebih lanjut lagi, adiposit adalah salah satu tempat utama untuk memproduksi asymmetric dimethyl arginine (ADMA), yang merupakan inhibitor endogen penting untuk nitric oxide (NO) synthase. Nitric oxide adalah regulator utama untuk vasokonstriktor aferen, sehingga ADMA berpotensi sebagai faktor yang relevan dalam menyebabkan hiperfiltrasi glomerulus pada pasien obesitas. Selain kondisi tersebut, sebuah studi terbaru juga menunjukkan bahwa massa lemak tubuh juga menyebabkan kondisi hiperaldosteronism dan peningkatan biomarker inflamasi (Il-6 dan TNF-α). Mineralokortikoid reseptor pada jaringan adiposa memicu ekspresi inflamasi adipokin dan memediasi aldosteron proadipogenik.
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain seperti proteinuria, adanya penyakit ginjal yang mendasari, dan hiperglikemi. Penyakit ginjal hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Hipertensi menyebabkan glomerulopati nefrosklerotik yang ditandai dengan vaskulopati renal. Akibat dari proses ini menyebabkan penurunan aliran darah ginjal. Akan tetapi, pada tahap awal masih terjadi mekanisme kompensasi berupa LFG yang dipertahankan konstan. Bila proses ini terus berlanjut, metabolisme tubuh akan melakukan peningkatan tekanan kapiler glomerular dan merusak barier filtrasi sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini mempengaruhi arteri dan arteriol glomerulus sehingga menyebabkan aterosklerosis, disfungsi endotel dan penebalan dinding pembuluh darah, serta fibrosis. Pada tahap ini, LFG akan menurun akibat konsekuensi dari hipertrofi dan fibrosis yang progresif.12,14,15 Tekanan darah pada pasien selama perawatan masih belum mencapai target tekanan darah pada pasien-pasien PGK stadium akhir yang seharusnya berada dalam rentang <140/90 mmHg untuk pasien-pasien tanpa albuminuria dan <130/80 mmHg untuk pasien-pasien dengan albuminuria.
Pengaruh gagal ginjal terhadap cairan tubuh bergantung pada asupan air dan makanan. Apabila seseorang dengan gagal ginjal total terus minum air dan makan dengan jumlah yang sama, maka konsentrasi berbagai zat dalam cairan ekstraselular akan terpengaruh. Pengaruh tersebut meliputi terjadinya edema umum akibat retensi air dan garam, asidosis metabolik akibat kegagalan ginjal membersihkan tubuh dari hasil asam normal, konsentrasi nitrogen non-protein yang tinggi utamanya ureum, kreatinin, dan asam urat. Selain itu zat-zat lain yang biasanya dieksresi dalam jumlah besar oleh ginjal seperti fenol, sulfat, fosfat, kalium, dan basa guanidin juga dapat meningkat.9 Seluruh kondisi ini disebut sebagai kondisi uremia karena tingginya konsentrasi ureum dalam cairan tubuh. Semua kondisi tersebut terjadi pada pasien pada laporan kasus ini. Pasien mengalami kondisi toksisitas uremikum akibat retensi zat sisa metabolisme yang seharusnya dibuang melalui ginjal. Gejala toksisitas uremikum bermanifestasi sebagai mual, muntah, diare, dan tukak lambung akibat efek toksik pada sistem pencernaan, serta kecenderungan mengalami perdarahan akibat efek toksik pada fungsi trombosit (uremic trombocytopathy), perubahan mental seperti penurunan kesadaran yang dapat berkembang menjadi kejang dan koma akibat efek toksik pada susunan saraf pusat, serta kelainan aktivitas sensorik dan motorik yang disebabkan oleh efek toksik pada saraf perifer.
Jika asupan air segera dibatasi setelah timbul gagal ginjal akut, kadar cairan tubuh total mungkin hanya sedikit meningkat. Jika asupan air tidak dibatasi dan pasien tetap minum sebagai respon rasa haus yang normal, cairan tubuh akan segera dan cepat meningkat. Oleh karena itu, monitoring asupan cairan melalui jalur enteral dan parenteral pada pasien-pasien dengan PGK terutama PGK stadium akhir merupakan hal yang sangat penting sebagai bagian dari perbaikan luaran klinis pasien. Asupan air untuk pasien penyakit ginjal kronis tahap dialisis dihitung berdasarkan keluaran urine selama 24 jam terakhir, ditambah dengan 500 mL
Pasien PGK dengan kondisi sakit kritis yang dirawat di ICU, memiliki masalah volume darah arteri yang rendah dan ketidakstabilan hemodinamik, sehingga terkadang memerluka pemberian cairan intra vena. Penggunaan cairan intravena isotonik lebih disarankan untuk menjaga konsentrasi serum natrium dalam darah. Pemantauan berat badan, asupan cairan dan output cairan, central venous pressure (CVP), saturasi oksigen pada vena sentral, dan monitoring hemodinamik invasif dapat dilakukan untuk memantau volume cairan tubuh pasien.
Total volume melalui jalur enteral pasien sejak pemantauan gizi awal hingga akhir adalah 750-900 ml setiap harinya. Produksi output tertinggi adalah pada pemantauan hari ke-1, dimana pasien menjalani hemodialisis, produksi Sedangkan produksi output terendah adalah pada hari ke-3 pemantauan sebesar 210 ml. Pada pemantauan terakhir didapatkan imbang cairan kumulatif adalah sebesar negatif 2000 ml. Monitoring CVP menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai CVP dari awal pemantauan sebesar 9 cmH2O menjadi 24 cmH2O. Berat badan pasien adalah 80 kg yang didapatkan dari pengukuran LLA. Pemantauan berat badan pada pasien ini dilakukan dengan melakukan pengukuran lingkar lengan atas (LLA) karena tidak tersedia bedscale pada tempat tidur pasien. Pengukuran LLA pada awal pemantauan adalah sebesar 35 cm sedangkan pada hari terakhir pemantauan juga masih menunjukkan nilai yang sama. Pemantauan kondisi edema pada kedua tungkai pasien hingga akhir pemantauan menunjukkan bahwa masih terdapat edema pada kedua dorsum pedis dengan kecenderungan terus berkurang. Pemeriksaan fisik paru didapatkan ronki paru kanan dan kiri hingga akhir pemantauan. Gambaran rontgent thorax juga masih menunjukkan adanya pembesaran jantung dan edema paru. Pada pasien mungkin masih terjadi kondisi overload cairan yang belum teratasi sepenuhnya dan pasien masih terus membutuhkan dialisis.
Dialisis dapat membersihkan ureum dari plasma dengan kecepatan 100 hingga 225 ml/menit, nilai ini dua kali lipat lebih besar dari nilai bersihan ureum dari kedua ginjal yang hanya 70 ml/menit. Tetapi dialisis hanya dapat digunakan 4-6 jam sehari, tiga kali seminggu.
Kadar ureum dan kreatinin pasien saat masuk rumah sakit adalah sebesar 173,9 mg/dL (ureum) dan 20,087 mg/dL (kreatinin), dan pada hari pertama pemantauan sudah jauh menurun menjadi 77 mg/dL (ureum) dan 8,9 mg/dL (kreatinin). Pada hari ke-2 pemantauan gizi (hari ke-10 perawatan rumah sakit) pasien sudah weaning dari ventilator dan telah dilakukan ekstubasi. Pasien bernapas spontan, respirasi adalah 16 kali/menit, dengan bantuan simple mask yang dialirkan oksigen sebesar 6 lpm. Kesadaran pasien masih somnolen.
Pada perawatan hari ke-9, pasien didiagnosis sepsis. Kadar procalsitonin (PCT) pada pasien ini adalah sebesar 63,76 ng/ml. Procalsitonin adalah suatu marker imunitas alamiah yang sangat poten dan biasanya digunakan untuk mendiagnosis suatu kondisi sepsis bakterialis.12 Dapat dilihat bahwa pada pasien ini, sejak awal dan selama masa perawatan, memiliki nilai PCT yang sangat tinggi. Berdasarkan pendapat dari American College of Chest Physician (ACCP), PCT lebih unggul daripada C-reactive protein (CRP) dalam hal mengidentifikasi tingkat severitas dari sepsis. Pada keadaan normal, PCT diproduksi oleh sel-sel C tiroid dan diubah menjadi calcitonin sehingga tidak ada PCT yang dilepaskan ke dalam sirkulasi. Pada orang sehat, kadar PCT sangat rendah (0,05 ng/mL). Hal ini berbeda dalam kondisi inflamasi dimana PCT diproduksi dengan mekanisme yang berbeda. Pada kondisi inflamasi produksi PCT secara langsung diinduksi oleh lipopolisakarida atau metabolit toksik dari mikroba dan secara tidak lanngsung diinduksi oleh berbagai mediator inflamasi seperti IL-6 dan TNF-α. Keadaan ini sel-sel adiposit akan memproduksi PCT tetapi tidak mengubahnya menjadi calcitonin dan langsung melepaskan PCT menuju sirkulasi sehingga menyebabkan peningkatan level PCT dalam darah.
Inisiasi pemberian nutrisi enteral dini pada kondisi sakit kritis dimulai pada periode 24-72 jam paska trauma saat pasien sudah berada dalam kondisi hemodinamik stabil. Kebutuhan energi pasien sakit kritis dapat dihitung dengan kalorimetri indirek sebagai baku emas, jika teknologi ini tersedia. Namun apabila tidak ada, maka digunakan ekuasi 25-30 kkal/kgBB/hari sebagai nilai kebutuhan energi harian. Pada pasien dengan obesitas maka digunakan ekuasi 11-14 kkal/kgBB/hari dengan menggunakan berat badan aktual untuk pasien-pasien dengan IMT 30-50 kg/m2, sedangkan untuk pasien-pasien obesitas dengan IMT >50 kg/m2 digunakan ekuasi 22-25 kkal/kgBB/hari dengan menggunakan BB ideal. Apabila BB aktual lebih dari 125% nilai BB ideal, maka digunakan adjusted weight, dengan formula adjusted weight = {[BB aktual-BB ideal]x0,25}+BB ideal.
Kebutuhan protein ditargetkan 1,2-2,0 g/kg/hari. Serum protein seperti albumin, prealbumin, transferin, dan CRP tidak valid untuk menentukan kecukupan asupan protein dalam kondisi sakit kritis. Kecukupan asupan protein dapat dimonitor dengan keseimbangan nitrogen. Formulanya adalah [Asupan protein (gram)/6,25]-[Urinary Urea Nitrogen+(4-6)]. Bila urinary urea nitrogen >30 gram dalam 24 jam maka nilai 6 gram lebih tepat digunakan untuk menghitung kehilangan non urinary nitrogen. Hasil baik apabila didapatkan keseimbangan nitrogen positif 4-6 gram dalam 24 jam. Pada pasien obesitas kebutuhan protein adalah sebesar 2 g/kg BB ideal untuk pasien dengan IMT 30-40 dengan 2,5 g/kg BB ideal untuk pasien dengan IMT ≥40. Kebutuhan protein untuk pasien sakit kritis yang menjalani hemodialisis rutin dapat diberikan hingga 2,5 g/kg/hari.19,20 Sedangkan rekomendasi protein dari K/DOQI untuk pasien-pasien yang hemodialisis yang secara klinis stabil atau berada dalam kondisi sakit akut adalah sekurang-kurangnya 1,2 g/kgBB, dengan separuhnya merupakan protein bernilai biologis tinggi.22,23 Sedangkan kebutuhan untuk karbohidrat adalah sebesar 2 g/kgBB/hari.
Pemantauan albumin pada pasien ini menunjukkan bahwa albumin pasien selama perawatan di ICU cenderung meningkat, dari awal sebesar 2 g/dL dan di akhir perawatan sebesar 2,66 g/dL. Pasien mendapat transfusi albumin 25% sebanyak 2 kali. Diketahui bahwa albumin merupakan parameter yang dapat digunakan dalam monitoring status energi-protein pada pasien-pasien yang menjalani dialisis. Selain albumin, terdapat parameter lain seperti serum prealbumin, kretinin, indeks kreatinin, urea nitrogen, dan serum kolesterol juga dapat menjadi parameter pemantauan status nutrisi dari pasien-pasien yang menjalani dialisis. Serum kolesterol kurang dari 150 mg/dl atau terdapat tren penurunan level kolesterol harus diteliti untuk kemungkinan terjadinya defisiensi nutrisional. Pada pasien ini diketahui bahwa serum kolesterol berada pada rentang normal selama perawatan di rumah sakit, walaupun terdapat peningkatan trigliserida yang cukup tinggi selama perawatan di ICU (314 mg/dl).
Pemantauan asam basa yang dapat dilakukan adalah dengan memantau serum bikarbonat. Serum bikarbonat harus dijaga agar berada pada atau di atas 22 mmol/L (dalam rentang normal). Kondisi serum bikarbonat yang rendah biasanya mengindikasikan pasien berada dalam kondisi asidosis metabolik. Kondisi asidosis metabolik adalah kondisi yang mengancam jiwa pada PGK, selain retensi kalium (mengarah pada malfungsi jantung).
Sesuai rekomendasi ASPEN, pada saat kondisi pasien belum stabil, pasien dipuasakan untuk jalur enteral, dan mendapat nutrisi parenteral total. Pemberian nutrisi enteral harus ditunda hingga pasien sepenuhnya telah selesai dilakukan resusitasi atau stabil. Inisiasi atau re-inisiasi dari pemberian nutrisi enteral harus diberikan hati-hati pada pasien-pasien yang baru saja dilakukan penghentian pemberian vasopresor. Pemberian enteral masih dapat dilakukan dengan hati-hati pada pasien-pasien yang terus mendapat vasopresor dalam dosis rendah. Nutrisi enteral ditunda pemberiannya pada pasien-pasien yang mengalami hipotensi (mean arterial blood pressure <50 mmHg), atau pada mereka-mereka yang mendapat inisiasi dosis dari agen katekolamin (norepinephrine, dopamine, epinephrine, phenyleprhine), atau pada pasien-pasien dengan dosis vasopresor yang meningkat untuk menstabilkan hemodinamik pasien.19 Pada hari pertama perawatan pasien di ICU pasien masih dipuasakan dan mendapat nutrisi total parenteral berupa Nutriflex® special 625 ml/24 jam. Pada hari ke-2 dan 3 perawatan ICU pasien mulai diberikan clear fluid 30 ml/jam dan nutrisi parenteral. Pasien mulai mendapatkan nutrisi enteral dengan formula enteral rumah sakit pada perawatan hari ke-4.
Formula enteral terpilih adalah formula standar polimerik isotonik atau hampir isotonik dengan tonisitias 1 kkal/ml hingga 1,5 kkal/ml. Penggunaaan imunonutrisi seperti arginin, EPA, DHA, glutamin, dan asam nukleat tidak direkomendasikan untuk digunakan secara rutin pada kondisi sakit kritis. Apabila pada pasien terjadi diare, maka tidak disarankan untuk melakukan penundaan nutrisi enteral melainkan mencari etiologi dari diare pada pasien agar dapat memberikan pasien terapi yang tepat. Kondisi diare pada pasien-pasien ICU yang menerima nutrisi enteral dapat terjadi dan dapat menjadi kondisi serius. Jika diare tidak dapat dikontrol maka dapat dilakukan penundaan nutrisi sementara sambil mencari penyebab diare seperti osmolalitas formula, jumlah serat pada formula, medikasi (antibiotik, proton-pump inhibitor, prokinetics, glucose lowering agents, nonsteroidal antiinflammatory drugs, selective serotonin reuptake inhibitors, laksatif, dan preparat mengandung sorbitol), etiologi infeksi bakteri, dan diet tinggi FODMAPS (short chain carbohydrate, fermentable ologosakarida, disakarida, monosakarida, dan polyols). Kebanyakan dari kasus diare di ICU adalah ringan dan dapat berhenti sendiri. Pengelolaan diare pada pasien ICU antara lain adalah pemeriksaan fisik abdomen, pemeriksaan analisis feses, pemeriksaan serum elektrolit (untuk evaluasi dehidrasi dan kehilangan elektrolit), dan melakukan analisis dari medikasi yang diberikan.
Mikronutrien yang direkomendasikan oleh ESPEN untuk dapat diberikan pada pasien yang menjalani dialisis adalah piridoksin (10-15 mg/hari), vitamin C (30-60 mg/hari), asam folat 1 mg/hari, vitamin D (melihat kadar status kalsium ion, serum fosfor, dan level hormon paratiroid), seng 15 mg/hari, selenium 50-70 µg/hari. Berdasarkan rekomendasi European Best Practice Guidelines (EBPG) terbaru pasien-pasien yang menjalani dialisis direkomendasikan untuk mendapatkan tiamin, riboflavin, kobalamin, niasin, biotin, asam pantotenat, dan tokoferol. Pemberian tiamin dalam dosis 0,5-1,5 mg.hari harus diberikan pada pemberian nutrisi dengan karbohidrat yang cukup dengan menggunakan tiamin hidroklorida. Vitamin E dapat diberikan terutama pada pasien-pasien dengan risiko tinggu vitamin E (800 IU/hari).
Selama perawatan di ICU, pasien mendapatkan total kalori harian dalam rentang 900 kkal/hari (di awal asesmen nutrisi) dan 1100 kkal/hari pada akhir pemantauan, atau sebesar 15 kkal-19 kkal/hari, protein 0,6-1 g/hari, dengan rata-rata asupan sebesar 15 kkal/hari dan asupan protein rata-rata 0,5 g/hari. Pasien mendapatkan perawatan gizi selama 6 hari. Masalah nutrisi pada pasien adalah kondisi anemia (utamanya karena sekresi eriropoietin yang berkurang), hipoalbuminemia (kondisi inflamasi yang berat pada pasien dan terjadinya albuminuria), dan restriksi cairan. Pasien dipindahkan ke ruang rawat dengan kondisi kesadaran apatis (GCS 12-13), tidak ada sesak, status gastrointestinal baik, perbaikan nilai ureum kreatinin dan kadar elektrolit normal.
Sitasi:
Adimukti P. Laporan Kasus: Terapi Medik Gizi pada Pasien Obesitas dengan Penurunan Kesadaran, Penyakit Ginjal Kronik Stadium Akhir yang Menjalani Hemodialisis di Intensive Care Units. 2017;12:1-30