Perubahan yang terjadi paska trauma bedah sama seperti halnya perubahan metabolik yang terjadi paska trauma pada umumnya. Pada trauma yang tidak mendapat terapi medis seperti dilakukannya resusitasi cairan, segera setelah terjadinya trauma, tubuh masuk ke dalam fase ebb dan flow. Selama fase ebb yang terjadi pada beberapa jam pertama setelah trauma, tubuh menjadi dingin dan mengalami hipotensi, keadaan ini disebut sebagai syok traumatik yang terjadi sebelum atau selama resusitasi berlangsung. Ketika terapi cairan dan transfusi darah diperkenalkan ke dalam praktik kedokteran, syok yang terjadi pada fase ini menjadi reversibel atau menjadi ireversibel. Syok ireversibel terjadi ketika respon metabolik yang terjadi sudah melibatkan proses inflamasi atau trauma pada organ lainya. Setelah fase ebb, fase flow terjadi berikutnya apabila dapat melewati syok dan fase ini dideskripsikan dalam dua bagian yaitu fase katabolik dan anabolik. Fase katabolik ditandai dengan adanya hipermetabolisme, pemecahan protein dan lemak, dan tubuh kehilangan nitrogen (keseimbangan negatif nitrogen), serta penurunan berat badan. Fase ini biasanya bertahan selama seminggu dan kemudian diikuti oleh fase anabolik yang ditandai dengan meningkatnya kembali cadangan protein dan lemak serta terjadi pertambahan berat badan, fase ini disebut juga fase penyembuhan dan biasanya bertahan 2 hingga 4 minggu.
Faktor-faktor yang mengantarai respon metabolik terhadap trauma antara lain adalah respon faktor inflamasi akut dan respon endokrin. Sel-sel inflamasi (neurofil dan makrofag) serta sitokin (molekul yang memiliki kemampuan berinteraksi dengan berbagai jenis sel, pada lokasi terjadinya perlukaan maupun di tempat yang jauh dari tubuh) adalah meruppakan mediator dari respon inflamasi akut. Terjadinya kerusakan fisik pada jaringan menghasilkan aktivasi lokal dari sel-sel seperti makrofag. Sel-sel ini menghasilkan berbagai macam sitokin yang memiliki fungsi kerja spesifik. Efek dari faktor-faktor inflamasi ini dapat bersifat parakrin (terlokalisir pada lokasi luka) atau endokrin (menyeluruh pada tubuh). Faktor inflamasi lainnya adalah terjadinya aktivasi leukosit dan produksi prostaglandin, kinin, komplemen, beberapa protease (elastase, katepsin) serta pembentukan radikal bebas. Faktor-faktor anti inflamasi beserta mekanismenya juga ada dan terjadi, antioksidan (glutathione, vitamin A, vitamin C, enzim penghambat proteasi (α2-makroglobulin) dan IL-10. Keseimbangan antara pro dan anti inflamasi ini terjadi pada tubuh dan mekanismenya belum sepenuhnya dimengerti. Akumulasi leukosit pada jaringan memicu migrasi antara sel-sel endotelial ke jaringan. Ketika terjadi perlukaan pada jaringan aliran darah menuju area tersebut meningkat karena terjadi vasodilatasi, keadaan ini merangsang pengantaran faktor-faktor inflamasi lokal pada sel, oksigen, dan substrat nutrisi ke jaringan tersebut. Vasodilatasi disebabkan karena adanya substansi kinin, prostaglandin, dan oksida nitrit, yang dipicu oleh karena adanya luka dan inflamasi. Oksida nitrit, yang disintesis di sel-sel endotelial, adalah faktor penting yang mengontrol aliran darah ke jaringan, baik pada orang sehat maupun dalam keadaan terluka. Sebagai tambahan dari keadaan vasodilatasi, pembuluh-pembuluh kapiler pada daerah trauma menjadi lebih permeabel terhadap plasma karena aktivasi sel-sel endotelial membuat pori-pori interselular menjadi lebih besar. Sebagai hasilnya, cairan dan partikel koloid (khususnya albumin) bocor ke dalam jaringan yang terluka dan terjadilah edema pada daerah tersebut. Jika jaringan yang terluka besar atau menyebar (misalkan pada luka bakar berat), cairan yang terkumpul di jaringan dapat sangat banyak hingga beberapa liter. Pada tempat terjadinya perlukaan terjadi koagulasi untuk mengurangi perdarahan. Proses ini melibatkan interaksi komplek antara sel-sel endotel, platelet, serta faktor-faktor inflamasi dan koagulasi yang bersirkulasi. Terjadinya aktivitas pro koagulasi dapat menyebabkan terganggunya aliran darah dengan terjadinya penutupan kapiler-kapiler. Ini terjadi ketika proses inflamasi meluas yang biasanya disebabkan karena proses infeksi dan menyebabkan disseminated intravascular coagulation (DIC).
Impuls yang diaktivasi akhir serabut saraf aferen pada lokasi jaringan yang terluka memiliki peran dalam memediasi respon metabolik pada trauma luka. Serabut saraf yang paling penting adalah serabut saraf nyeri yang terdiri atas serabut C yang tidak memiliki myelin dan serabut A yang memiliki myelin. Kedua serabut ini terstimulasi oleh trauma langsung atau pelepasan stimulan saraf seperti prostaglandin. Impuls saraf mencapai talamus melalui akar dorsalis dari korda spinalis dan traktus spinotalamikus lateralis. Impuls lateral yang mencapai talamus ini memediasi respon metabolik melalui berbagai mekanisme respon, antara lain: (1) stimulasi dari sistem saraf simpatis menyebabkan takikardi dan peningkatan output kardiak. Noradrenalin (norepinefrin) dilepaskan dari akhir serabut saraf simpatis dan adrenalin (epinefrin) dilepaskan dari kelenjar adrenal dan menambah konsentrasi katekolamin yang bersirkulasi. Proses ini akan berkontribusi terhadap perubahan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Intervensi yang bertujuan untuk mengurangi stimulasi simpatis, seperti anestesi epidural ataupun spinal dapat menghambat perubahan ini; (2) stimulasi dari hormon pituitari, perubahan dari hormon utamanya terlibat dalam menjaga keseimbangan cairan dan substrat metabolisme. Trauma luka memicu perubahan konsentrasi hormon yang bersirkulasi ini disebabkan karena adanya stimulasi langsung dari berbagai kelenjar yang memproduksi hormon dan juga karena adanya perubahan mekanisme umpan-balik (feedback mechanism) sebagai respon dari trauma luka tersebut. Respon endokrin yang terjadi adalah bertambahnya sekresi dari hormon-hormon stres dan menurunnya sekresi dari hormon-hormon anabolik.
Tabel Perubahan Hormonal Sebagai Respon Pembedahan dan Trauma
| Perubahan Hormonal | Pituitari | Adrenal | Pankreatik | Lain-lain |
| Peningkatan sekresi | Growth hormone (GH) Adrenocorticotrophic hormone (ACTH) Prolaktin Antidiuretik hormone/arginine vasopressin (ADH/AVP) | Adrenalin Kortisol Aldosteron | Glukagon | Renin Angiotensin |
| Tanpa perubahan Sekresi | Thyroid-stimulating hormone (TSH) Luteinizing hormone (LH) Follicle stimulating hormone (FSH) | – | – | – |
| Penurunan sekresi | – | – | Insulin | Testoteron Estrogen Hormon-hormon tiroid |
Konsekuensi lain dari respon metabolik yang terjadi paska trauma luka adalah terjadinya hipovolemia yang disebabkan oleh kehilangan cairan karena perdarahan, kehilangan cairan karena berkurangnya cairan elektrolit (produksi pipa nasogastrik, muntah, atau keringat), serta evaporasi dari jaringan yang terpapar pembedahan. Akibat dari hipovolemia yang terjadi, oliguria dan retensi natrium dan air, sangat umum terjadi paska tindakan bedah mayor. Hal ini terjadi karena adanya penurunan perfusi renal yang disebabkan oleh hipovolemia. Output kardiak menurun dan terjadilah penurunan aliran darah menuju organ-organ. Output kardiak ditentukan oleh preload kardiak (jumlah darah yang menuju jantung), frekuensi denyut jantung, kontraktilitas otot jantung, serta afterload kardiak (besarnya tahanan dari pemompaan jantung). Tekanan darah ditentukan oleh output kardiak dan tahanan perifer dari pembuluh-pembuluh darah (utamanya arteriol).
Laju metabolik ditentukan oleh adanya kerja fisik, produksi panas (termogenesis) dan laju basal metabolik. Mengikuti suatu kejadian trauma, aktifitas fisik biasanya menurun, walaupun frekuensi denyut jantung cenderung meningkat. Peningkatan suhu dapat menyebabkan peningkatan 6-10% laju metabolik untuk setiap kenaikan 1 derajat Celcius suhu tubuh.
Glikogenolisis terjadi di hepar dan cadangannya akan bertahan 8-12 jam. Terjadi pula peningkatan glukoneogenesis, utamanya di hati. Sekresi insulin menurun sebagai respon dari inhibiasi sel-sel beta pankreas oleh katekolamin, namun terjadi pula resistensi insulin yang terjadi karena adanya perubahan sinyal pada reseptor interselular, sehingga semua faktor ini menyebabkan terjadinya hiperglikemia, dimana hal ini akan menyebabkan substrat glukosa yang dibutuhkan untuk proses inflamasi dan penyembuhan jaringan paska trauma. Katekolamin dan glukagon juga meningkatkan glukoneogenesis. Terdapat hubungan yang kuat antara tingginya hiperglikemia yang terjadi dengan derajat keparahan trauma.
Jaringan adiposa menyimpan cadangan trigliserida yang merupakan sumber cadangan energi pada trauma. Hormon stres (katekolamin, glukagon, kortisol, dan hormon pertumbuhan) mampu mengaktivasi enzim trigliserida lipase di dalam sel-sel lemak, proses ini dieksaserbasi oleh adanya resistensi insulin. Kortisol adalah stimulus kuat untuk lipolisis dan pada saat trauma peningkatannya bisa mencapai 3-4 kali lipat yang dapat terjadi dalam beberapa jam pada proses pembedahan. Trigeliserida dipecah menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Gliserol adalah substrat glukoneogenesis dan asam lemak bebas dimetabolisme oleh banyak jaringan untuk menghasilkan energi.
Otot rangka adalah penyimpan cadangan protein utama tubuh yang labil. Mengikuti suatu kejadian luka, terjadi proteolisis pada otot rangka dan pelepasan asam amino ke sirkulasi. Proses ini utamanya dimetabolisme di hepar dan asam amino tersebut diubah menjadi glukosa untuk ditransport kembali ke jaringan untuk metabolisme energi. Asam amino juga digunakan oleh hati untuk pembentukan protein fase akut. Respon ini meningkatkan produksi dari protein fase akut positif (C-reactive protein, haptoglobins, ferritin, fibrinogen, α1-Antitripsin, α2-Macroglobulin, plasminogen), dan penurunan protein fase akut negatif (albumin dan transferrin). Respon fase akut ini dimediasi oleh utamanya IL-1, IL-6 dan TNF peningkatan respon fase akut ini sebenarnya bertujuan untuk memerangi infeksi dan proses penyembuhan. Besarnya katabolisme protein otot bergantung pada seberapa besar trauma/pembedahan yang terjadi serta faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi seperti adanya sepsis. Pada orang sehat 80-120 gram per hari protein harus berasal dari asupan (12-20 gram nitrogen, 1 gram nitrogen=6 gram protein). Umumnya 2 gram/hari nitrogen hilang melalui feses dan 10-18 gram per hari nitrogen hilang melalui urin dalam bentuk urea. Pada tindakan bedah yang tidak memiliki komplikasi, keseimbangan nitrogen negatif dapat bertahan hingga 5-8 hari, tetapi apabila psien mengalami sepsis, luka bakar, atau kondisi lainnya yang memperpanjang inflmasi (misalnya pankreatitis akut) keadaan ini dapat bertahan hingga beberapa minggu. Kondisi katabolik berat dan keseimbagan nitrogen negatif harus diatasi dengan pemberian protein dan kalori yang cermat sehingga dapat menghambat proses yang terjadi. Bahkan pada pasien yang menjalani operasi yang tidak memiliki komplikasi saja dapat kehilangan sekitar 600 gram protein otot (1 gram protein = 5 gram otot), yang biasanya akan kembali ke keadaan semula dalam 3 bulan.
Kondisi kelaparan biasa terjadi pada trauma dan pembedahan karena beberapa alasan: (1) penyakit yang mendasari membutuhkan asupan minimal selama beberapa minggi/bulan sebelum dilakukannya tindakan pembedahan (misalnya pada karsinoma lambung); (2) pasien dipuasakan menjelang tindakan pembedahan; (3) pasien dipuasakan paska pembedahan; (4) hilangnya selera makan pada pasien. Pada kondisi kelaparan akut metabolisme tubuh berubah dan prioritas utama adalah suplai glukosa menujut otak. Glikogenolisis dan glukoneogenesis terjadi di hati, melepaskan glukosa untuk metabolisme serebral. Lipolisis di di jaringan lemak dilepaskan untuk dipergunakan oleh jaringan lainnya. Proses ini dapat menyuplai lebih kurang 1800 kkal/hari untuk estimasi berat badan pasien dewasa sebesar 70 kg selama lebih kurang 10 jam. Sedangkan pada kelaparan yang terjadi dalam jangka panjang, mulai terjadi pemecahan protein otot yang dilepaskan sebagai asam amino yang akan diubah menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis. Asam lemak yang dilepaskan dari jaringan lemak diubah menjadi keton oleh hati. Otak tidak dapat memproses asam lemak bebas dan menggunakan sekitar 70% glukosa yang dihasilkan oleh glukoneogenesis hati tetapi seiring dengan berlangsungnya kelaparan otak beradaptasi untuk menggunakan keton sebagai substrat energi daripada glukosa, proses adaptasi ini akan mengurangi kehilangan protein otot (yang biasanya akan diubah menjadi glukosa dalam proses glukoneogenesis) dan metabolisme pada kelaparan jangka panjang akan berubah ke arah peningkatan konsumsi lemak, dan pada akhirnya kehilangan nitrogen akan berkurang. Fase ini disebut sebagai fase kelaparan terkompensasi yang akan terus berlangsung hingga semua cadangan lemak tubuh habis. Pada fase ini apabila keadaan pasien memburuk dan dekat dengan kematian, protein otot kembali dipecah agar dapat menyediakan glukosa untuk metabolisme serebral.
Anemia adalah hal yang umum terjadi paska bedah mayor karena terjadinya perdarahan dan hemodilusi ketika darah yang hilang digantikan oleh kristaloid ataupun cairan koloid. Selain hal tersebut, produksi sel darah merah baru oleh sumsum tulang seringkali terganggu karena rendahnya eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal dan rusaknya prekursor pematangan sel darah marah. Metabolisme besi berubah dimana terjadi peningkatan cadangan besi (terikat pada ferritin) dan penurunan besi yang terikat ke transferrin. Perubahan ini disebabkan oleh karena adanya inflamasi. Setelah terjadinya perlukaan, darah menjadi hiperkoagulasi, ini adalah kondisi sementara yang biasanya berlangsung selama 1 hingga 2 hari, tetapi dapat menambah risiko tromboemboli paska bedah, dan biasanya terjadi pada pasien yang mengalami syok, sepsis, atau mendapat banyak transfusi darah. Kondisi ekstrem dari koagulopati adalah terjadinya DIC.
Anabolisme pada pasien paska bedah ditandai dengan adanya pertambahan berat badan, restorasi massa otot rangka dan kekuatannya, serta kembalinya cadangan lemak yang hilang. Proses ini tidak terjadi hingga faktor-faktor yang berhubungan dengan katabolisme mereda. Keadaan ini juga tampak dari adanya perbaikan klinis pasien dan perbaikan selera makan pasien. Hormon-hormon yang berkontribusi dengan proses anabolisme antara lain insulin, growth hormone, insulin-like growth factors, androgens dan 17-ketosteroids. Faktor yang mengontrol laju anabolisme sangat kompleks tetapi faktor dukungan nutrisi serta faktor aktivitas pasien adalah faktor-faktor yang memberi kontribusi penting.
-Referensi lengkap ada pada penulis