Nutrisi Perioperatif pada Bedah Laparoskopi Kolesistektomi

Kolelitiasis (batu empedu) adalah salah satu permasalahan saluran cerna yang terjadi di seluruh dunia. Prevalensi kolelitiasis meningkat seiring dengan pertambahan usia. Di Amerika Serikat, prevalensi kolelitiasis dalam pertahun mencapai 10-15%.  Sedangkan, di Indonesia data terkait prevalensi kolelitiasis masih belum banyak dipublikasi. Sebagian besar pasien dengan kolelitiasis seringkali tidak menimbulkan keluhan dan penelitian terkait kolelitiasis masih jarang dilakukan.1,2

Salah satu prosedur yang terpilih terutama pada pasien-pasien risiko sedang hingga tinggi untuk mengatasi kolelitiasis adalah laparoskopi kolesistektomi. Protokol ERAS dalam tata laksana nutrisi yang telah lama dijalankan pada prosedur bedah elektif kolorektal telah diketahui memiliki hasil keluaran yang baik pada percepatan penyembuhan penderita serta pemendekan masa rawat. Namun, bagaimana aplikasinya dalam bedah laparoskopi kolesistektomi saat ini masih menjadi bahan diskusi dalam berbagai penelitian. Pemberian karbohidrat loading direkomendasikan oleh ESPEN untuk diberikan sebagai bagian dari nutrisi perioperatif. Pemberian karbohidrat loading dikatakan dapat meminimalisir timbulnya resistensi insulin, mencegah hiperglikemia pasca bedah, kehilangan protein, menjaga lean body mass dan fungsi otot, menurunkan anxietas dan mual muntah pasca operasi serta dikatakan memiliki efek kardioprotektif pada pembedahan jantung.3

Terkait bedah laparoskopi kolesistektomi, masih terdapat pro dan kontra terkait diberikannya karbohidrat loading pada kondisi ini. Pedziwiatr et al4 mengemukakan bahwa karbohidrat loading tidak memberikan efek yang signifikan dalam hal level kortisol, insulin, dan tingkat kejadian resistensi insulin. Sedangkan, Yilmas et al5, menyimpulkan bahwa karbohidrat loading tidak memberikan efek yang berbeda dalam hal keasaman lambung, parameter hemodinamik, dan volume residual, tetapi memberikan rasa kenyang dan nyaman kepada pasien selama menjalani pembedahan dan mengurangi mual muntah serta penggunaan antiemetik pasca bedah. Weleji6 dan Ljunqqvist7, mengemukakan tentang pemberian infus glukosa untuk tindakan bedah laparoskopi kolesistektomi bermanfaat dalam memperbaiki kondisi metabolisme pasca operasi dan mencegah terjadinya resistensi insulin.

Berdasarkan hal tersebut, perlu diteliti lebih lanjut tentang bagaimana seharusnya tata laksana nutrisi perioperatif pada bedah laparoskopi kolesistektomi yang memiliki risiko kardiovaskular dengan kelas fungsional derajat II dan ASA 3.

Kolesistektomi adalah terapi terpilih untuk mengatasi batu empedu yang bergejala (cholelithiasis symptomatic). Morbiditas terkait tindakan ini adalah bila terjadi perlukaan dinding abdomen dalam proses mendapatkan akses untuk mencapai kandung empedu. Metode laparoskopi adalah metode yang dikembangkan untuk mengurangi morbiditas pada prosedur kolesistektomi yang sudah menjadi terapi terpilih untuk tindakan kolesistektomi. Pada prosedur laparoskopi, pada umumnya digunakan gas insuflator yang mempermudah operator dalam melakukan eksplorasi abdomen. Gas CO2 adalah gas yang terpilih sebagai insuflator  karena mudah larut dalam air dan tidak memicu percikan api pada saat elektrokauter digunakan. Pasien-pasien dengan penyakit kardiorespirasi memiliki risiko dengan efek pneumoperitoneum CO2 yang dapat mempengaruhi cardiac output, tekanan inflasi paru, keseimbangan asam basa, dan kemampuan paru untuk mengeliminasi CO2. Pada kasus ini, tidak digunakan insuflasi dengan gas CO2 untuk mempermudah operator dalam melakukan eksplorasi abdomen dalam mencapai kandung empedu, tetapi digunakan teknik “abdominal wall lifting”. Teknik ini adalah teknik yang digunakan untuk menghindari komplikasi pneumoperitoneum pada pasien-pasien risiko tinggi yang menjalani pembedahan laparoskopi, walaupun metode ini memiliki risiko tinggi untuk terjadinya kesalahan pembedahan.10,11

Ileus paralitik adalah keadaan di mana usus tidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik hampir selalu dijumpai pada pasien pasca operasi abdomen. Keadaan ini secara fisiologis biasanya hanya berlangsung antara 24-72 jam. Ileus akan menghilang setelah motilitas sigmoid kembali normal. Beratnya ileus paralitik pasca operasi bergantung pada lamanya operasi, penggunaan narkosis atau  zat-zat anestesi umum, lama manipulasi usus dan lama usus berkontak dengan udara luar. Anestesi spinal, diketahui dapat mencegah atau menghambat terjadinya ileus pasca operasi. Ileus yang terlama biasanya terjadi pasca bedah kolorektal. Bedah laparoskopik kolon berhubungan dengan pemendekan dari periode ileus dibandingkan dengan bedah terbuka. Konsekuensi klinis yang ditimbulkan dari ileus adalah pasien menjadi tidak nyaman, imobilisasi, berisiko untuk terjadinya komplikasi pulmonal, dan juga meningkatkan katabolisme akibat rendahnya asupan nutrisi.12-15

Gangguan elektrolit terutama hipokalemia, hiponatremia, hipomagnesemia atau hipermagnesemia juga dapat memberikan gejala ileus paralitik. Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung, terjadi penurunan toleransi terhadap asupan makan, mual dan obstipasi. Muntah mungkin ada mungkin pula tidak ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan keluhan perut kembung pada ileus obstruksi. Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum pasien bervariasi dari ringan sampai berat bergantung pada penyakit yang mendasarinya, didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan tidak nyaman pada perutnya serta tidak ditemukan adanya reaksi nyeri tekan dan nyeri lepas.12-15

Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya berupa dekompresi, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati kausa atau penyakit primer dan pemberian nutrisi yang adekuat. Untuk dekompresi dilakukan pemasangan pipa nasogastrik dan bila perlu dipasang rectal tube. Pemberian cairan, koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi parenteral hendaknya diberikan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip pemberian nutrisi parenteral. Beberapa obat yang dapat dicoba yaitu metoklopramid bermanfaat untuk gastroparesis, cisaprid bermanfaat untuk ileus paralitik pasca-operasi, dan klonidin dilaporkan bermanfaat untuk mengatasi ileus paralitik karena obat-obatan. Neostigmin sering diberikan pada pasien ileus paralitik pasca operasi. Bila bising usus sudah mulai ada dapat dilakukan feeding test, dimulai dengan pemberian cairan jernih, dan bila tidak ada retensi,dapat dimulai dengan makanan cair kemudian disesuaikan sejalan dengan toleransi ususnya.12

Perubahan yang terjadi pasca bedah maupun stres pembedahan juga dapat berkontribusi pada terjadinya kondisi ileus paralitik. Perubahan yang terjadi pasca trauma bedah sama seperti halnya perubahan metabolik yang terjadi pasca trauma pada umumnya. Faktor-faktor yang mengantarai respon metabolik terhadap trauma antara lain adalah respon faktor inflamasi akut dan respon endokrin. Sel-sel inflamasi (neurofil dan makrofag) serta sitokin (molekul yang memiliki kemampuan berinteraksi dengan berbagai jenis sel, pada lokasi terjadinya perlukaan maupun di tempat yang jauh dari tubuh) adalah merupakan mediator dari respon inflamasi akut.16-18

Anabolisme pada pasien pasca bedah ditandai dengan adanya pertambahan berat badan, restorasi massa otot rangka dan kekuatannya, serta kembalinya cadangan lemak yang hilang. Proses ini tidak terjadi hingga faktor-faktor yang berhubungan dengan katabolisme mereda. Keadaan ini juga tampak dari adanya perbaikan klinis pasien dan perbaikan selera makan pasien. Hormon-hormon yang berkontribusi dengan proses anabolisme antara lain insulin, growth hormone, insulin-like growth factors, androgens dan 17-ketosteroids. Faktor yang mengontrol laju anabolisme sangat kompleks tetapi faktor dukungan nutrisi serta faktor aktivitas pasien adalah faktor-faktor yang memberi kontribusi penting.16

Tatalaksana nutrisi perioperatif telah menjadi sangat penting sejak tahun 1936 ketika Studley mengemukakan hubungan antara penurunan berat badan pra bedah dengan kejadian mortalitas pasca bedah.37 Dalam perubahan metabolisme yang terjadi karena pembedahan sebagaimana sudah dibahas dalam poin sebelumnya, diketahui bahwa keadaan kelaparan akut dapat menyebabkan terjadinya deplesi glikogen dalam beberapa jam dan tubuh memilih jalur glukoneogenesis untuk menghasilkan glukosa melalui pemecahan protein otot dan protein viseral lainnya. Oleh karena itu nutrisi perioperatif bertujuan untuk: (1) meminimalisir terjadinya keseimbangan protein negatif dengan menghindari terjadinya kelaparan pada pasien-pasien bedah; (2) menjaga otot, sistem imum, dan fungsi kognitif; (3) mempercepat proses penyembuhan pasca bedah dan mengembalikan fungsi-fungsi jaringan secepatnya ke keadaan semula (3).21

Terapi nutrisi adalah bagian penting dalam tata laksana pasien-pasien dengan risko kardiorespirasi yang menjalani prosedur bedah laparoskopi kolesistektomi. Terapi nutrisi pada kasus-kasus ini berfokus pada prinsip nutrisi enteral dini, pemberian karbohidrat loading yang adekuat sebagai cadangan energi selama dan pasca bedah untuk menjaga kontraktilitas miokardium dan menjaga agar tidak terjadi komplikasi kardiorespirasi yang disebabkan oleh deplesi glikogen dan energi. Selain itu, terapi nutrisi yang tepat dari segi jumlah dan komposisi juga akan mempengaruhi proses penyembuhan pasien pasca laparoskopi kolesistektomi.

Pemberian karbohidrat loading dikatakan dapat merangsang anabolisme. Sekurang-kurangnya diberikan 50 gram karbohidrat yang akan memicu pelepasan insulin, efek pelepasan insulin ini akan sama seperti ketika mengkonsumsi makanan dengan makronutrien lengkap. Rekomendasi pemberian karbohidrat loading adalah 100 gram diberikan pada malam sebelum tindakan pembedahan dan dilanjutkan pemberikan 50 gram karbohidrat dalam bentuk minuman di hari pembedahan (2-3 jam  tindakan pembedahan.28

Pemberian karbohidrat loading direkomendasikan oleh ESPEN untuk diberikan dalam bentuk oral dan pada pasien-pasien yang tidak mampu menoleransi oral dapat diberikan infus karbohidrat. Pemberian karbohidrat loading dikatakan dapat meminimalisir timbulnya resistensi insulin, mencegah hiperglikemia pasca bedah, kehilangan protein, menjaga lean body mass dan fungsi otot, menurunkan anxietas dan mual muntah pasca operasi serta dikatakan memiliki efek kardioprotektif pada pembedahan jantung. Pemberiannya adalah menggunakan maltodekstrin dalam bentuk minuman dengan konsentrasi sebesar 12,5%. Apabila digunakan intravena maka dosis karbohidrat loading diberikan dengan konsentrasi cairan glukosa sebesar 20% yang diberikan dalam volume rendah untuk memastikan efek pelepasan insulin terjadi secara merata.3

Terkait bedah laparoskopi kolesistektomi, terdapat berbagai penelitian yang mendukung, tidak mendukung, ataupun netral terhadap pemberian karbohidrat loading pada kondisi ini. Pedziwiatr et al4 mengemukakan bahwa pemberian minuman khusus pre-operative 2 sebanyak 400 ml jam sebelum pembedahan tidak memberikan efek yang signifikan dalam hal level kortisol, insulin, dan tingkat kejadian resistensi insulin. Yilmas et al5, menyimpulkan bahwa pemberian minuman pre-operatif sebanyak 400 ml 2 jam sebelum tindakan pembedahan tidak memberikan efek yang berbeda dalam hal keasaman lambung, parameter hemodinamik, dan volume residual. Tetapi pemberian minuman pre-operatif memberikan rasa kenyang dan nyaman kepada pasien selama menjalani pembedahan dan mengurangi mual muntah serta penggunaan antiemetik pasca bedah. Weleji dan Ngowe6 mengemukakan bahwa pemberian minuman preoperatif sebanyak 600 ml yang mengandung 14 gram karbohidrat dan 100 gram maltodekstrin pada malam sebelum tindakan pembedahan dan 3 jam sebelum tindakan anestesia dapat menurunkan risiko hiperglikemia dan risiko infeksi pasca bedah. Penelitian Ljunqqvist et al7, mengemukakan tentang pemberian infus glukosa sebanyak 5 mg/kg/menit pada malam hari saat pasien puasa untuk tindakan bedah laparoskopi kolesistektomi bermanfaat dalam memperbaiki kondisi metabolisme pasca operasi dan mencegah terjadinya resistensi insulin. Penelitian Thomassen et al29, mengemukakan bahwa pemberian infus glukosa juga dikatakan memiliki efek anti angina dan metabolik kardiak pada pasien-pasien yang menjalani cardiac pacing. Pemberian infus glukosa pada kondisi ini dikatakan memiliki efek peningkatan glikolisis aerobik dan anaerobik, menghemat glikogen, dan menurunkan lipolisis. 

Pasca bedah, pemberian makanan melalui oral atau pipa makan harus dimulai dalam 24 jam pasca bedah.30-32 Namun demikian, waktu optimal untuk memulai terapi nutrisi pasca bedah sangat dipengaruhi oleh kondisi klinis pasien, morbiditas pasien, dan status metabolik.30-35

Diare merupakan salah satu tanda terjadinya sindroma pasca laparoskopi kolesistektomi yang belum sepenuhnya terjelaskan. Diare dapat terjadi 1 minggu pasca bedah hingga 3 bulan. Untuk menghindari diare pasca laparoskopi kolesistektomi ini sebaiknya disarankan agar pasien mengkonsumsi diet rendah lemak pasca bedah setidaknya selama 1 minggu.39

Strategi untuk mengurangi dismotilitas gastrointestinal pasca bedah dan meningkatkan tingkat kesuksesan dari nutrisi enteral antara lain: (1) Memperbaiki ketidakseimbangan pH; (2) memperbaiki abnormalitas elektrolit (khususnya magnesium dan kalium); (3) membatasi pemberian cairan berlebihan; (4) meminimalisir opiat eksogen; (5) mengoptimalisasi kontrol glikemik untuk mencegah hiperglikemi yang menginduksi perlambatan pengosongan lambung; (6) pemberian nutrisi enteral dini; (7) pemberian medikasi prokinetik untuk memperbaiki toleransi asupan.40

Pasien pada laporan kasus adalah laki-laki berusia 61 tahun dengan diagnosis kolelitiasis simptomatik dengan risiko kardiorespirasi sedang hingga berat, status ASA III, dengan kelas fungsional derajat II yang menjalani bedah laparoskopi kolesistektomi elektif. Tata laksana nutrisi perioperatif pada pasien disesuaikan dengan kondisi pasien. Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien menggunakan formula Harris-Benedict. Kebutuhan nutrisi pada pasien dihitung dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain atau komorbid yang terdapat pada pasien. Penerapan protokol ERAS dengan pemberian karbohidrat loading dan nutrisi enteral dini pada pasien-pasien bedah laparoskopi kolesistektomi elektif diprioritaskan untuk dapat dilakukan apabila kondisi pasien memungkinkan, karena integritas dari saluran pencerhaan pasien pada dasarnya tidak terganggu. Kombinasi parenteral dan enteral dilakukan jika asupan enteral tidak dapat mencapai 60% dari kebutuhan nutrisi seharusnya. Pemberian nutrisi paska operatif dimulai dengan kalori rendah terlebih dahulu karena pasien-pasien paska laparoskopi kolesistektomi umumnya tidak dapat menolerir jumlah asupan yang terlalu tinggi. Besaran energi awal yang dianjurkan adalah berkisar di 18-25 kkal/kg/hari dalam 3-4 hari yang kemudian dinaikkan bertahap. Suplementasi dengan mikronutrien diberikan sejak pre-operatif, sedangkan suplementasi dengan nutrien spesifik yang dapat memperbaki kontraktilitas miokardium direncanakan setelah pasien memasuki fase rehabilitasi.

Referensi:

  1. Mulhim A. Current Trends in Laparoscopik Cholecystectomy. J Family Community Med 1997;4(2): 33–40
  2. Lesmana L. Batu empedu. Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000:380-384
  3. Braga M, Ljungqvist O, Soeters P, Fearon K, Weimann A, Bozzetti F. ESPEN Guidelines On Parenteral Nutrition: Surgery. Clinical Nutrition 2009;28:378–386
  4. Pędziwiatr MPisarska MMatłok MMajor PKisielewski MWierdak M, et al. Randomized Clinical Trial To Compare The Effects Of Preoperative Oral Carbohydrate Loading Versus Placebo On Insulin Resistance And Cortisol Level After Laparoscopic Cholecystectomy. Pol Przegl Chir 2015;87(8):402-8
  5. Yilmaz N, Cekmen N, Bilqin F, Erten E, Ozhan M, Cosar A. Preoperative carbohydrate nutrition reduces post operative nausea and vomiting compared to preoperative fasting. J Res Med Sci 2013; 18(10):827–832.
  6. Weleji EP, Ngowe MN. The effects of preoperative carbohydrate loading on the metabolic response to surgery in a low resource setting. IJSO 2017;8:18-23
  7. Ljunqqvist O, Thorell A, Gutniak M, Haqqmark T, Efendic S. Glucose infusion instead of preoperative fasting reduces post operative insulin resistance. J Am Coll Surg 1994;178(4):329-36
  8. Hall, John E, and Arthur C. Guyton. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier, 2011.
  9. Sherwood, Lauralee. Human Physiology: From Cells to Systems. Pacific Grove, Calif: Brooks/Cole, 2014
  10. Fried GM, Feldman, Klasen DR. Cholecystectomy and Common Bile Duct Exploration. ACS Surg 2005;5:1–22
  11. Sadhu S, Sarkar S, Jahangir A, Verma R, Shaikh F, et al. Laparoscopic Cholecystectomy in Patients with Cardiac Dysfunction. Indian J Surg 2011;73(2):90–95
  12. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland GF, et al. 2016 ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. European Heart Journal 2016;37:2129–2200
  13. Djumhana A. Ileus Paralitik. Sub Bagian Gastroentero-Hepatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/RS dr.Hasan Sadikin Bandung, 2000
  14. Barletta JF, Senagore AJ. Reducing the burden of postoperative ileus: evaluating and implementing an evidence-based strategy. World J Surg 2014;38(8):1966-77.
  15. Resnick J, Greenwald DA, Brandt LJ. Delayed gastric emptying and postoperative ileus after nongastric abdominal surgery: part I. Am J Gastroenterol 1997;92(5):751-62. 
  16. Walsh T.S. The Metabolic Response to Injury. Dalam: Principles and Practice of Surgery. Edisi ke-1. Scottland: Churchill-Livingstone, 2007. Hal. 2-9
  17. Simsek T dan Canturk NH. Response to trauma and metabolic changes: posttraumatic metabolism. Ulusal Cer Derg 2014; 30: 153-9
  18. Desborough J.P. The stress response to trauma and surgery. Br J Anaesth 2000;85:109-17.
  19. Burton D, Nicholson G, Hall G. Endocrine and metabolic response to surgery. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain 2004(4);5:144-147
  20. Grodner M. Nutrition and Metabolic Stress. Dalam:Grodner M, Stump E, Dorner S. Nutritional Foundations and Clinical Applications. Edisi ke-5. Mosby, 2015. hal. 341-354
  21. Brady, M, Kinn, S, Stuart, P. Preoperative fasting for adults to prevent perioperative complications. Cochrane Database Syst. Rev. 2003; 4:442-3.
  22. Weimann A. ESPEN guideline: Clinical nutrition in surgery. Clinical Nutrition 2017;36:623-650
  23. Jacobs DG, Jacobs DO, Kudsk KA et al. Practice management guidelines for the nutritional support of the trauma patient. J Trauma 2004;57:660–678.
  24. Salvino, Dechico, Seidner. Perioperative nutrition support: Who and How. Cleveland Clinic Journal Of Medicine 2004;71(4):345-50
  25. Abunnaja S, Cuviello A, Sanchez J. Enteral and Parenteral Nutrition in the Perioperative Period: State of the Art. Nutrients 2013;5:608-623.
  26. The Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland. Oral carbohydrate preload drink for major surgery-the first steps from famine to feast. Anaesthesia 2014;69:1299–1313
  27. Hausel J et al. A Carbohydrate-Rich Drink Reduces Preoperative Discomfort in Elective Surgery Patients. Anesth Analg 2001;93:1344 –50
  28. Noblett SE, Watson DS, Huong H, et al. Pre-operative oral carbohydrate loading in colorectal surgery: a randomized controlled trial. Colorectal Dis 2006;8, 563-569
  29. Thomassen A, Nielsen TT, Bagger JP, Henningsen P. Infusion during pacing in patients with and without coronary artery disease. Am Heart J 1989;118(1):25-32.
  30. S. J. Lewis, H. K. Andersen, dan S. Thomas. Early enteral nutrition within 24 h of intestinal surgery versus later commencement of feeding: a systematic review andmeta-analysis. Journal of Gastrointestinal Surgery 2009; 13(3): 569–575.
  31. H. K. Andersen, S. J. Lewis, dan S. Thomas. Early enteral nutrition within 24 h of colorectal surgery versus later commencement of feeding for postoperative complications. Cochrane Database of Systematic Reviews 2006;4
  32. A. El Nakeeb, A. Fikry, T. El Metwally et al. Early oral feeding in patients undergoing elective colonic anastomosis. International Journal of Surgery 2009;7(3):206–209.
  33. Martindale RG dan Maerz L. Management of Perioperative Nutrition Support. Current Opinion in Critical Care 2006;12:290–294
  34. Jacobs DG, Jacobs DO, Kudsk KA et al. Practice management guidelines for the nutritional support of the trauma patient. J Trauma 2004;57:660–678.
  35. Sacks GS, Kudsk KA. Maintaining mucosal immunity during parenteral feeding with surrogates to enteral nutrition. Nutr Clin Prac 2003;18:483–488.
  36. Gustafsson, U.O, Ljungqvist, O. Perioperative nutritional management in digestive tract surgery. Curr. Opin. Clin. Nutr. Metab. Care 2011;14:504–509.
  37. Ward, N. Nutrition support to patients undergoing gastrointestinal surgery. Nutr. J 2003;2:18.
  38. Bozzetti, F. Perioperative nutritional management. Proc. Nutr. Soc. 2011;70: 305–310.
  39. Yueh T, Chen FY, Lin T, Chuang MT. Diarrhea after laparoscopic cholecystectomy: Associated factors and predictors. Asian Journal of Surgery 2014;37:171-177
  40. Salah D. Perioperative Nutrition to Enhance Recovery After Surgery. Ain-Shams Journal of Anaesthesiology 2016;9:469–477.
  41. Compher, C.W, Spencer, C, Kinosian, B.P. Perioperative parenteral nutrition: Impact on morbidity and mortality in surgical patients. Nutr. Clin. Pract. 2005;20:460–467.
  42. Torosian, M.H. Perioperative nutrition support for patients undergoing gastrointestinal surgery: Critical analysis and recommendations. World J. Surg. 1999;23:565–569.
  43. Morlion, B.J, Stehle, P, Wachtler, P, Siedhoff, H.P, Koller, M, Konig, W, Furst, P, Puchstein, C. Total parenteral nutrition with glutamine dipeptide after major abdominal surgery: A randomized, double-blind, controlled study. Ann. Surg 1998;227:302–308
  44. Bozzetti, F, Gavazzi, C, Miceli, R, Rossi, N, Mariani, L, Cozzaglio, L, Bonfanti, G, Piacenza, S. Perioperative total parenteral nutrition in malnourished, gastrointestinal cancer patients: A randomized, clinical trial. JPEN J. Parenter. Enteral Nutr 2000;24:7–14.
  45. Ayers P, Holcombe B, Plogsted S, Guenter P. A.S.P.E.N Parenteral Nutrition Handbook. Second Editon. American Society for Parenteral and Enteral Nutrition. USA, 2011.

Referensi & makalah lengkap ada pada penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *