Beberapa waktu lalu, penulis mendengar tentang seorang influencer yang mengatakan bahwa dengan tidak memiliki anak, atau istilahnya sekarang dikenal sebagai Childfree, akan membuat seseorang menjadi awet muda. Jujur saja ketika mendengar hal itu, penulis hanya menganggap bahwa influencer muda itu hanya main-main saja dengan ucapannya, karena pemikirannya masih sederhana. Kemungkinan, penulis menebak influencer tersebut berpikir bahwa dengan tidak punya anak maka tidak stres sehingga akan menjadikan dirinya lebih awet muda daripada yang memiliki anak. Namun demikian, ternyata banyak netizen yang menganggap serius ucapan influencer muda tersebut, dan sepertinya ternyata influencer muda tersebut memang tidak main-main dengan pernyataannya. Lalu, bagaimana tanggapan penulis tentang Childfree, sebuah fenomena dimana suatu pasangan tidak punya anak karena memang tidak mau punya anak atau sengaja tidak ingin punya anak, akan membuat pasangan tersebut atau salah seorang di antaranya tidak mudah menua atau awet muda, benarkah demikian?
Sebagai seorang dokter yang saat ini sering membaca tentang dunia epigenetik, yaitu cabang ilmu biologi yang mempelajari gen dalam tubuh makhluk hidup, saya dapat mengatakan sepertinya ada sesuatu yang harus saya jabarkan, supaya lebih banyak orang yang paham, tentang keajaiban yang terjadi saat seorang wanita, “Hamil”. Semua pasti sepakat, bisa hamil saja sudah suatu keajaiban, bagaimana 2 sel yang bertemu, yang satu berbentuk seperti berudu, yang satunya lagi seperti telur, lalu menjadi seorang anak manusia yang cerdasnya bukan main, bisa nangis ketika lapar, mencari puting ibunya walaupun matanya belum melek, dan akhirnya mengucapkan kata pertamanya, itu saja sudah AJAIB! Tapi, bukan itu keajaiban yang saya maksud. Keajaiban disini adalah perubahan yang terjadi pada gen seorang Ibu ketika dia hamil, lho kok bisa? Memangnya gen bisa berubah-ubah, bukannya itu seperti cetak birunya manusia, kenapa bisa berubah? Itu pertanyaan yang sama, ketika saya membaca salah satu buku tentang epigenetik, mata saya terbelalak, ternyata SEAJAIB ITU menjadi seorang Ibu Hamil, dan saya merasa sangat beruntung pernah mengandung, “Masya Allah”, ucap saya.
Saya akan bercerita dari awal dulu ya…
Memang benar, bahwa gen diibaratkan sebagai cetak birunya manusia, yang diwarisi dari kedua orang kita dan tidak dapat diubah-ubah (saya berbicara tentang bagaimana kita mewarisi gen dari ayah dan ibu kita, bukan tentang mutasi gen somatik karena paparan sinar matahari atau merokok–mungkin itu lain kali saya bahas), setidaknya begitu saya memahaminya. Tetapi, pada proses kehamilan terjadi “Epigenetic Modification” pada janin, dengan kata lain tubuh seorang ibu adalah tempat tumbuhnya janin yang DIPROGRAM untuk tumbuh sempurna dan sebaik mungkin, selama Nutrisi Ibu Terpenuhi dengan baik (tentu saja tanpa melupakan kesehatan emosi dan batiniah ibu selama hamil yang juga harus baik). Bahasa ilmiah menyebutnya dengan istilah “FETAL PROGRAMMING“. Sebenarnya sejak masa subur atau wanita mengalami ovulasi, sel telur tersebut sudah mengalami “EPIGENETIC CHANGES atau MODIFICATION” seperti yang saya jelaskan tadi, lagi-lagi faktor nutrisi berperan penting disini. Oleh karena itu, saya mengimbau baik para ibu ataupun calon ibu termasuk remaja putri, jaga asupan makanan anda dengan baik dan benar, cukupi kebutuhan gizi anda, agar anda kelak dapat hamil dan melahirkan bayi yang sehat. Faktor nutrisi rupanya adalah faktor yang sangat berperan dalam perubahan epigenetik ini (sebagai dokter gizi sebenarnya saya tidak terlalu kaget dengan fakta ini, Sudah Kuduga!). Lebih dalam lagi, adalah suatu proses mekanisme kunci pada perubahan epigenetik, disebut sebagai metilasi DNA, yaitu suatu proses penambahan gugus metil di sepanjang rantai DNA dimana terdapat Basa Nitrogen “Cytosin” yang berdampingan dengan Basa Nitrogen “Guanine” (ada empat basa nitrogen pembentuk unit DNA, yaitu Adenine, Guanine, Cytosine, dan Timine). Maaf jika anda bingung membaca tulisan saya, setidaknya baca dulu saja, saya berjanji selanjutnya akan lebih mudah, semoga!
Bayangkan, anda memiliki rumah dengan 1000 lampu. Tapi beberapa ruangan di rumah anda sebenarnya tidak membutuhkan cahaya lampu, karena sudah terang dan mendapat sinar matahari sepanjang tahun (rumahnya pasti terletak di Khatulistiwa) atau mungkin karena ruangan tersebut jarang dipakai. Apa yang anda lakukan? Pasti anda mematikan lampu di ruangan tersebut bukan, kecuali anda memang tidak pernah bayar tagihan listrik! Agar memudahkan anda mematikan lampu-lampu itu, anda membuat sebuah Saklar Pusat, sehingga anda tidak perlu repot-repot mematikan/menyalakan 1000 saklar lampu satu per satu. Analogi lampu ini bisa menjelaskan rentetan kalimat saya selanjutnya. Camkan dulu di benak anda tentang analogi lampu ini.
Milyaran sel di dalam tubuh manusia dan setiap sel memiliki inti yang didalamnya terdapat DNA manusia. DNA ini terdiri dari deretan atau rentetan basa nitrogen dalam urutan yang spesifik untuk setiap spesies (Ah! Itulah mengapa satuan taksonomi terkecil adalah spesies karena itu spesifik). Saya dan anda memiliki kemiripan gen sebanyak lebih kurang 99,9% karena kita sama-sama manusia. Saya dan kucing saya, si Tomtom, memiliki kemiripan genetik 90%, cukup mirip padahal dia anabul yang berbulu tebal dan bulunya selalu terbang-terbang setiap hari mengotori rumah saya, belum lagi kalau pup seisi rumah saya jadi harum, tapi ternyata dari sisi genetika saya dan tomtom hanya berbeda 10%, lalu anda dan saya hanya berbeda lebih kurang 0,1% dari sisi genetika. Namun demikian, perbedaan 0.1% itulah yang membuat tak satupun manusia di dunia ini sama atau tidak satupun manusia satu dengan lainnya yang dapat dikatakan identik secara genetik kecuali kembar identik atau monozygotic twins (oleh karena itu kembar identik selalu berjenis kelamin sama) kecuali terjadi mutasi genetik yang dapat mengubah kromosom janin termasuk kromosom sex-nya. Perbedaan 0,1% inilah yang membuat manusia dapat berbeda-beda dari segi penampilan fisik, cara memproses makanan, cara memproses obat-obatan, psikologis, atau risiko penyakit yang mungkin timbul. Jadi, Anda, Saya, dan Elon Musk mirip 99,9%, hanya berbeda 0,1% sehingga kita perlu berbangga untuk itu, mungkin?!
Kembali ke analogi lampu tadi, masih ingat? Rupanya, seperti lampu yang dimatikan di rumah tadi, tidak semua gen yang ada dalam tubuh kita memiliki fungsi biokimiawi dalam proses kerja tubuh manusia. Ilmu genetika saat ini, mengemukakan bahwa 99% rantai DNA merupakan DNA Non-Koding, artinya tidak mengkode atau memproduksi protein tertentu sebagai sinyal biokimiawi dalam proses kerja tubuh manusia. Tapi bukan berarti DNA ini benar-benar tidak berfungsi sama sekali, DNA-DNA ini disebut sebagai DNA-berulang (Repetitive DNA) yang merupakan ciri khas kesamaan genetika manusia dan akhir-akhir ini juga diketahui bisa jadi memiliki fungsi sebagai regulatory genes yang mengatur kerja ekpresi gen, yaitu sebuah proses penentuan tentang gen mana yang akan dinyalakan atau difungsikan untuk pembentukan sinyal biokimiawi (RNA dan protein) yang diperlukan tubuh manusia. Bisa jadi, saya menganggapnya seperti saklar pusat dalam analogi lampu tadi, mana lampu yang nyala dan mana lampu yang akan dimatikan, maka saklar pusat ini mengatur semuanya.
Sekarang bagaimana pengaturan tentang gen mana yang dinyalakan atau dalam posisi switch on dan mana yang dalam posisi switch off. Disinilah ilmu nutrigenetik dan nutrigenomik berperan, seperti yang sering saya sebut dari tadi, “Epigenetic Changes atau Modification dipengaruhi oleh faktor nutrisi “. Kita semua tentu ingin agar gen yang ON adalah gen yang memiliki efek positif untuk tubuh kita dan semua gen-gen yang dapat merugikan dalam kondisi OFF, seperti seorang Ibu yang mengharapkan janin yang dikandungnya memiliki badan yang sehat, wajah cantik darinya, dan tinggi semampai seperti ayahnya. Lagi-lagi faktor nutrisi berperan penting disini. Folat, tentu saja mengambil peranan dalam proses metilasi DNA, polifenol secara signifikan mengubah epigenome sel kanker, resveratrol yang berperan dalam pencegahan epigenetic silencing BRCA1 (tumor suppressor protein), lalu masih ada curcumin, genistein, isoflavon, dan isothiocyanates yang terkandung dalam makanan favorit saya yaitu brokoli, kubis, dan kale. Semua ini berperan dalam pengubahan epigenome sel-sel tubuh agar dapat tetap bekerja dengan normal.
Sementara ibu hamil mempersiapkan janin yang sehat dengan mengonsumsi makanan-makanan yang mencukupi kebutuhan gizinya selama hamil, selama itulah proses timbal balik antara ibu dan janin terjadi. Saya menyebutnya sebagai karunia dan suvenir kehamilan dari Tuhan.
Satu hal sebagai penutup tulisan saya kali ini. Pada proses kehamilan, terjadi kondisi yang disebut sebagai “Microchimerism”. Ini adalah kondisi di mana sel-sel dari janin atau bayi yang sedang dikandung masuk ke dalam tubuh ibu hamil dan tetap bertahan setelah kelahiran. Manfaat utama dari microchimerism dalam kehamilan melibatkan interaksi seluler yang kompleks antara sel-sel janin dan ibu. Ini dapat memiliki dampak positif pada kesehatan ibu dengan mempengaruhi sistem kekebalan, perbaikan jaringan, dan bahkan potensi pengurangan risiko penyakit tertentu seperti kanker payudara. Namun, masih perlu penelitian lebih lanjut untuk sepenuhnya memahami bagaimana microchimerism memengaruhi kesehatan jangka panjang ibu setelah melahirkan.
Jadi, apakah hamil adalah suatu anugerah atau malah menjadi hal yang ditakuti hingga harus dihindari seakan-akan kehamilan adalah suatu musibah? Bagi saya, dengan jelas dan yakin… “Menjadi ibu hamil adalah suatu anugerah bagi setiap wanita dan yang dapat merasakannya”.
<meta name='ir-site-verification-token' value='-1709879623'>