Status nutrisi memiliki efek yang penting terhadap kualitas hidup dan kesejahteraan dari pasien-pasien kanker. Malnutrisi dan penurunan berat badan sering berkontribusi terhadap kematian dari pasien-pasien kanker.44
Kaheksia kanker adalah sindroma yang ditandai oleh penurunan berat badan yang progresif dan tidak disengaja dengan gambaran klinis berupa wasting, anoreksia, atrofi otot rangka, lemas, kelelahan, anemia, dan hipoalbuminemia. Penyebab dari terjadinya kanker kaheksia sendiri adalah anoreksia, faktor mekanis yang mempengaruhi saluran pencernaan yang berhubungan dengan tumor, efek samping pembedahan, kemoterapi, atau terapi radiasi, perubahan pada metabolisme tubuh, serta adanya perubahan pada sitokin dan kondisi hormonal pada tubuh pasien. Sindroma kanker kaheksia yang dapat ditemukan pada lebih kurang 50% pasien-pasien kanker melibatkan beraneka ragam gangguan terkait fisik dan metabolik yang berakibat pada terjadinya malnutrisi yang mengancam jiwa.45 Walaupun sering terlihat pada pasien-pasien dengan kondisi keganasan yang lanjut, tetapi sindroma kanker kaheksia juga dapat terjadi pada tahap awal pertumbuhan tumor. Penurunan berat badan pada pasien-pasien kanker memiliki makna prognostik yang penting. Apapun jenis tumornya, kemampuan untuk bertahan hidup lebih rendah pada pasien-pasien yang mengalami penurunan berat badan yang tidak tertangani. Deteksi dini dan intervensi untuk pencegahan terjadinya perburukan dari sindroma kanker kaheksia dapat menjadi peluang untuk mencegah terjadinya konsekuensi terburuk dari sindroma kanker kaheksia.46-48
Intervensi farmakologis berperan terbatas dalam mengatasi anoreksia dan gangguan metabolik yang sering tampak pada sindroma kanker kaheksia. Penelitian telah memfokuskan terapi nutrisi melalui asupan per oral untuk mencegah sindroma kanker kaheksia terkait anoreksia. Terapi nutrisi telah terbukti berperan dalam menunjang penyembuhan pasien-pasien kanker dengan kanker yang menjalani pembedahan maupun tidak. Efek pemberian nutrisi parenteral secara konsisten menunjukkan pertambahan berat badan, meningkatkan lemak tubuh, serta memperbaiki keseimbangan nitrogen, sedangkan efek nutrisi parenteral terhadap lean body mass adalah minimal. Efek dari nutrisi enteral terhadap komposisi tubuh adalah biasanya dapat meningkatkan berat badan dan memperbaiki keseimbangan nitrogen. Baik nutrisi enteral maupun parenteral, ketika diberikan selama 7-49 hari, memperlihatkan efek menguntungkan terhadap serum protein.49-51
Perbaikan atau menjaga status nutrisi adalah kunci sukses dari terapi nutrisi pada pasien-pasien yang menjalani terapi kanker. Menjaga berat badan berada dalam status nutrisi optimal direkomendasikan selama terapi kanker. Knox et al menunjukkan bahwa pasien kanker dapat berada dalam kondisi hipometabolik, normometabolik, ataupun hipermetabolik. Fredrix et al menyimpulkan bahwa perubahan metabolik yang terjadi pada pasien kanker berhubungan dengan jenis tumornya. Pada skuamous sel karsinoma kanker kepala leher berhubungan dengan penurunan berat badan yang signifikan baik sebelum, selama, dan setelah dilakukannya diagnosis dan terapi pada pasien, sehingga dapat dikatakan pasien berada pada kondisi hipermetabolik, sehingga membutuhkan intervensi nutrisi yang efektif dengan menggunakan edukasi gizi, stimulan penambah nafsu makan, profilaktik enteral tube feeding untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien selama menjalani kemoterapi dan radiasi.52 Kebutuhan energi dapat dihitung dengan kalorimetri indirek. Tetapi dalam penggunaan klinis, dapat digunakan menggunakan ekuasi Harris-Benedict. Hasil dari ekuasi kemudian dikalikan dengan faktor stres. Faktor stres yang digunakan untuk menjaga berat badan adalah dikalikan dengan 1,15-1,3 sedangkan untuk kebutuhan anabolisme digunakan faktor stres 1,5. Selain dengan ekuasi Harris-Benedict, sebagai langkah mudah untuk melakukan estimasi kebutuhan energi basal adalah dengan mengalikan berat badan dengan kebutuhan energi harian untuk setiap kilogram berat badan per hari. Saat ini dari beberapa panduan yang ada menyatakan bahwa diperlukan 20-35 kkal/kgBB. Pada pasien dengan kondisi minimal hipermetabolisme berat badan dikalikan dengan 20-25 kkal/hari, 25-30 kkal/hari pada kondisi hipermetabolisme sedang, dan 30-35 kkal/hari pada kondisi hipermetabolisme berat. dengan memperhitungkan aktivitas pasien apakah bedridden ataupun ambulatori.53,54
Tidak seperti pada perubahan metabolik yang terjadi pada kelaparan biasa, kaheksia kanker yang dimediasi dengan peningkatan sitokin yang bersirkulasi dapat menyebabkan pasien mengalami katabolisme protein otot. Deplesi massa otot dan kehilangan nitrogen menghasilkan kondisi keseimbangan negatif nitrogen meskipun dengan kalori yang cukup dari lemak dan karbohidrat untuk tetap menjaga agar tubuh dapat mensintesis protein. Pada lanjut usia, keadaan ini dapat diperparah dengan terjadinya sarkopenia. Kebutuhan Protein dengan kebutuhan protein sekitar 1,0-1,2 g/kgBB/hari untuk pasien kanker dengan tingkat stres rendah, 1,2-1,6 g/kgBB/hari untuk kondisi pasien kanker hiperkatabolik, dan 1,5-2,5 g/kgBB/hari pada pasien-pasien kanker dengan tingkat stres sangat tinggi.55-57. Harus diingat bahwa ekuasi ini tidak mempertimbangkan komposisi tubuh. Massa otot adalah kontributor untuk pengeluaran energi, sehingga penting untuk dilakukan penyesuaian secara rutin dengan monitoring berat badan pasien pada terapi nutrisi.
Untuk kebutuhan lemak, belum ada rekomendasi harian untuk kebutuhan lemak pada pasian kanker, tetapi n-3 PUFA dan eicosapentanoic acid dilaporkan bermanfaat dalam mencegah terjadinya penurunan berat badan dan memperbaiki imunitas pada pasien kanker. Minyak kelapa dikatakan memiliki efek antikanker dan bersifat protektif daripada unsaturated oils.58,59 Ketogenik diet terdiri dari diet tinggi lemak (90%), rendah karbohidrat (2% atau sekitar 70 g/hari), dan protein dalam jumlah sedikit hingga sedang (8%). Diet ini akan memaksa tubuh untuk membakar lemak daripada karbohidrat untuk menghasilkan adenosin triphosphate (ATP). Dibandingkan dengan sel normal sel kanker memperlihatkan aktivitas metabolisme glukosa yang meningkat karena adanya stres metabolik kronik pada sel kanker. Ketogenik diet bekerja dalam 2 mekanisme berbeda pada pasien kanker, yang pertama adalah dengan meningkatkan stres oksidatif di dalam sel kanker. Metabolisme lemak membatasi penggunaan glukosa untuk glikolisis sehingga membatasi pembentukan piruvat dan glukosa-6-fosfat yang dapat memasuki jalur fosfat pentosa membentuk NADPH yang dibutuhkan untuk mengurangi hidroksiperoksida. Sebagai tambahan, metabolisme lemak akan memaksa sel untuk menghasilkan energi dari metabolisme mitokondria. Diketahui bahwa sel kanker memiliki disfungsi rantai transpor elektron mitokondria, yang berakibat kepada terbentuknya reduksi elektron pada O2 yang menghasilkan reactive oxygen species (ROS), dan ketika ini terjadi maka sel kanker akan terpapar stres oksidatif karena ketidakmampuannya untuk memetabolisme lemak. Hampir sama dengan metabolisme lemak, energi yang berasal dari protein, yang dihasilkan dari proses glutaminolisis, memaksa sel untuk memproduksi energi dari metabolisme mitokondria dan dapat dikatakan, penggunaan protein juga dapat meningkatkan stres oksidatif pada sel kanker. Tetapi, diketahui banyak asam amino yang dapat memasuki siklus asam sitrat melalui jalur alfa-keto-glutarat yang akan masuk ke dalam jalur glukoneogenesis untuk pembentukan NADPH. Oleh karena itu, metabolisme protein tidak akan menghasilkan stres oksidatif sebanyak metabolisme lemak pada sel kanker. Ketogenik diet telah dipelajari sebagai terapi ajuvan pada kanker. Tisdale et al melaporkan bahwa penggunaan ketogenik diet dikatakan mengurangi berat tumor dan memperbaiki keadaan kaheksia pada tikus dengan adenokarsinoma.60 Dari penelitian lain mengatakan bahwa ketogenik diet mengurangi pertumbuhan sel tumor pada glioma malignan.60-62 Schmidt et al melaporkan pada penelitiannya bahwa ketogenik diet memiliki manfaat dalam memperbaiki kulitas hidup dan parameter biokimia darah pada 16 pasien dengan kanker stadium lanjut yang telah bermetastasis.63 Saat ini penggunaan ketogenik diet masih dalam uji klinik tahap 2 sehingga masih membutuhkan penelitian tahap lanjut.64 Ketogenik diet sendiri memiliki potensi risiko akut dan kronik. Potensi risiko akut meliputi rasa ketidaknyamanan pada saluran cerna, mual muntah, badan lemas, peningkatan benda keton tubuh, hipoglikemia, defisiensi mineral dan mikronutrien. Potensi risiko kronik antara lain peningkatan LDL dan kolesterol, kehilangan mineral tulang, pembentukan batu ginjal, penurunan IFG-1, dan kerusakan ginjal. Oleh karena itu, penggunaan diet ketogenik biasanya memperhatikan kondisi klinis pasien serta parameter laboratorium sebelum pasien diberikan ketogenik diet sebagai terapi ajuvan.64,65
Terkait dengan karbohidrat, hingga saat ini belum terdapat panduan rekomendasi berapa banyak karbohidrat yang direkomendasikan untuk populasi pasien kanker. Bukti-bukti ilmiah yang ada justru menunjukkan bahwa glukosa, produk akhir dari digesti karbohidrat, dapat memiliki efek langsung ataupun tidak langsung terhadap proliferasi sel tumor. Sel kanker tergantung terhadap pasokan glukosa yang memadai dalam darah untuk energi dan menunjang kehidupannya, karena ketidakmampuannya untuk mengolah asam lemak ataupun benda keton karena adanya disfungsi dari metabolisme mitokondria pada sel-sel kanker.66
Berdasarkan rekomendasi ESMO, untuk kebutuhan karbohidrat pada pasien kanker dapat diasumsikan sesuai dengan pola makan seimbang Western Diet, yaitu sekitar 50-55% dari total kebutuhan energi, sedangkan untuk lemak adalah sebesar 30-35% dari total kebutuhan energi.54
Kebutuhan air dan elektrolit juga harus diperhitungkan dalam terapi nutrisi pasien-pasien kanker. Keadaan stres dan inflamasi berhubungan dengan terjadinya retensi air dan natrium serta hilangnya kalium, magnesium, dan fosfat. Penyembuhan biasanya ditandai dengan mobilisasi air dan natrium melalui diuresis yang tampak dengan hilangnya edema serta kebutuhan meningkat akan kalium, magnesium, dan fosfat untuk menggantikan kehilangan eletrolit yang telah terjadi pada intraselular. Situasi yang sama terjadi pada re-feeding pada kondisi kelaparan jangka lama. Penurunan level plasma fosfat, kalium, dan magnesium menyebabkan terjadinya paralisis otot, aritmia jantung, retensi air, bahkan kematian mendadak, yang sering dinamakan sindroma re-feeding, yang sangat berbahaya dan dapat terjadi pada saat terapi nutrisi diberikan pada pasien-pasien kanker dengan kondisi malnutrisi berat. Untuk mendapatkan gambaran dinamika dari elektrolit, selain dari konsentrasi plasma, output elektrolit pada urine, serta perhitungan imbang cairan juga harus diperhatikan.67
Tabel.2.5 Rekomendasi Asupan Air dan Elektrolit
Pada Nutrisi Enteral dan Parenteral
| Elektrolit | Nutrisi enteral (mmol) | Nutrisi Parenteral (mmol) | 
| Natrium | 80-100 | 80-100 | 
| Kalium | 60-150 | 60-150 | 
| Magnesium | 10-18 | 8-12 | 
| Fosfat | 20-40 | 15-30 | 
| Kalsium | 25-50 | 2,5-5 | 
| Air | 1500-2500 ml | 1500-2500 ml | 
Dari daftar pustaka nomor. 67
Sitasi:
Adimukti P. Laporan Kasus: Terapi Nutrisi pada Pasien Karsinoma Nasofaring dengan Malnutrisi Berat yang Menjalani Radiasi. Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2017;5:1-56