Ringkasan Terapi Gizi pada Kasus Anemia Defisiensi Besi

Anemia adalah permasalahan kesehatan yang umum terjadi di dunia saat ini. World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih kurang 2 milyar penduduk dunia mengalami anemia yang terdiagnosis dari konsentrasi hemoglobin berada di bawah ambang batas yang ditentukan oleh WHO. Anemia karena defisiensi zat gizi terutama yang disebabkan oleh defisiensi zat besi merupakan kelainan gizi yang paling sering ditemui di negara berkembang. Anemia defisiensi besi umumnya terjadi pada perempuan dalam usia reproduktif dan anak-anak. Menurut data Riskesdas 2013, prevalensi anemia di Indonesia yaitu 21,7%, dengan proporsi 20,6% di perkotaan dan 22,8% di pedesaan serta 18,4% laki-laki dan 23,9% perempuan.1,2

Defisiensi besi dengan anemia atau tanpa anemia memiliki konsekuensi terhadap kesehatan manusia dan perkembangan anak. Wanita dalam usia reproduksi yang mengalami anemia beserta janinnya beresiko tinggi untuk terjadinya kematian saat kehamilan atau setelah persalinan. Mental anak dan perkembangannya dapat terhambat karena adanya defisiensi besi yang terjadi sejak masa janin. Defisiensi besi juga menurunkan kemampuan kerja, kemampuan kognitif, dan kapasitas produksi dari wanita di usia reproduksi yang biasanya masih aktif bekerja. Selama dua dekade terakhir, sudah banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk memerangi anemia, tetapi pada kenyataan kejadian anemia masih terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia.1,3

Selain disebabkan oleh defisiensi besi, anemia dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit infeksi seperti malaria, cacing tambang, defisiensi mikronutrien yang lain seperti folat, vitamin B12, dan vitamin A, penyakit-penyakit keturunan yang mempengaruhi sel darah merah seperti talasemia, dan inflamasi karena penyakit kronik. Hingga saat ini, anemia masih dianggap sebuah permasalahan menyangkut perbaikan nutrisi dan kesehatan. Skrining anemia, diagnosis anemia, dan tatalaksana anemia sudah dikeluarkan WHO dan berbagai lembaga kesehatan yang mengeluarkan konsensus, tetapi penerapannya secara praktis dan tepat sasaran masih harus dibahas lebih lanjut agar terapinya sesuai dengan etiologi dari anemia itu sendiri yang sangat beragam jenisnya.1-4

Karena tingginya angka kejadian, beragamnya etiologi, dan pentingnya  aspek nutrisi dalam masalah anemia, maka dibuatlah laporan kasus ini yang membahas tentang tatalaksana nutrisi pada pasien anemia defisiensi besi utamanya yang terjadi pada wanita di usia masa reproduksi. Diharapkan laporan kasus ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dalam tatalaksana nutrisi pada pasien-pasien dengan kasus anemia.

Anemia Defisiensi Besi merupakan jenis anemia yang paling banyak dijumpai di masyarakat. Banyak penyebab yang mendasari terjadinya anemia ini, tetapi pada wanita di usia reproduksi,  perdarahan merupakan penyebab terbanyak terjadinya anemia defisiensi besi ini. Perdarahan dapat terjadi karena menstruasi yang berlebihan maupun karena adanya perdarahan pada saluran cerna. Asupan besi yang tidak adekuat dan juga pola makan yang tidak berimbang juga dapat menyebabkan anemia defisiensi besi pada wanita usia reproduksi.

Anemia Defisiensi Besi ini memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat utamanya pada wanita usia reproduksi yang hamil maupun yang tidak dan juga anak-anaknya. Dengan dilakukan pencegahan dengan edukasi diet yang tepat, suplementasi besi secara universal, program fortifikasi makanan dengan besi elemental,  diharapkan kelompok usia tersebut dapat terhindar dari anemia ini. Angka kecukupan gizi tahun 2013 untuk wanita usia reproduksi adalah sebanyak 26 mg/hari sehingga asupan diet harian agar terhindar dari anemia defisiensi besi harus memenuhi angka ini. Kelebihan dari asupan besi harus dihindari karena dapat menjadi toksik bagi tubuh.

Anemia Defisiensi Besi yang sudah terjadi dapat diterapi dengan menggunakan preparat besi dan dicari kausanya serta melakukan diet yang cukup asupan besi. Pada penderita anemia defisiensi besi, diberikan preparat besi elemental dalam dosis 120 mg per hari selama 3 bulan dan diberikan edukasi diet berimbang yang cukup asupan besi seperti daging merah, daging unggas, makanan laut, kacang-kacangan, sayuran berdaun hijau, dan kelompok bahan makanan tinggi asam askorbat yang diharapkan akan membantu penyerapan besi. Makanan-makanan tinggi asam fitat dan polifenol yang dapat menghambat penyerapan besi tetap dapat dikonsumsi karena bahan makanan ini juga tinggi antioksidan, tetapi tidak dikonsumsi bersamaan dengan bahan makanan sumber besi.

Referensi:

  1. Report of a Joint World Health Organization/ Centers for Disease Control and Prevention technical Consultation on the assessment of Iron Status at the Population Level. World Health Organization. 2004: Geneva, Switzerland.
  2. RISET KESEHATAN DASAR. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI; 2013.
  3. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity. Vitamin and Mineral Nutrition Information System. World Health Organization. 2011: Geneva, Switzerland.
  4. WHO. Iron Deficiency Anaemia Assessment, Prevention, and Control A guide for programme managers. World Health Organization. 2001: GEneva, Switzerland

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *