Telaah Jurnal: Terapi Medik Gizi Pada Pasien Obesitas Morbid dengan Penyakit Ginjal Kronik Stadium 4, Diabetes Melitus Tipe 2, dan Hashimoto Tiroiditis

Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Penyakit ginjal kronik meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Hasil systematic review dan metaanalisis dari sebuah studi mendapatkan prevalensi global PGK sebesar 13,4%.1 Prevalensi penyakit ginjal kronik yang pada populasi diabetes melitus tipe 2 di Amerika Serikat mencapai 43,5% dari populasi tersebut.2 Sedangkan di Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung.

Obesitas merupakan suatu kondisi gangguan metabolik yang akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas pada populasi dewasa maupun anak-anak. Di Italia, populasi anak-anak dengan obesitas mencapai 21,2%. Kondisi obesitas pada masa kanak-kanak dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan metabolik yang akan menetap hingga masa dewasa dan menimbulkan komplikasi seperti timbulnya penyakit kardiovaskular, diabetes melitus tipe 2, hipertensi, dan juga penyakit ginjal kronik.3

Sebuah laporan kasus pada tahun 2016 dari sebuah departemen nefrologi dan dialisis di Italia, yang berjudul “Morbid Obesity in a young woman affected by advanced chronic kidney disease: an exceptional case report. Does a high dose of essential amino acids play a key role in therapeutic success?”, yang meneliti perjalanan penyakit dari seorang wanita di usia pertengahan yang menderita obesitas morbid dengan berbagai komplikasi metabolik dari obesitas, menjadi landasan bagi penulis untuk membuat sebuah laporan kasus yang membahas tentang pemberian terapi medik gizi pada kasus gangguan endokrin yang sudah terjadi secara luas dan telah menyebabkan gangguan ginjal kronik yang progresif.4

Pemberian suplementasi asam amino pada pasien ini, dimaksudkan untuk menurunkan berat badan pada pasien ini, yang diharapkan mampu untuk memperbaiki gangguan metabolik dan penyakit-penyakit komorbid obesitas yang diderita pasien ini, utamanya pada perbaikan kontrol glikemik, kontrol tekanan darah, keseimbangan metabolisme, serta mencegah progresifitas dari penyakit ginjal kronik yang dialami oleh pasien ini.4

Dari studi lain dikatakan bahwa suplementasi asam amino dapat menurunkan massa lemak tubuh serta merangsang efisiensi dari metabolisme glukosa dan meningkatkan sensitifitas insulin pada tubuh manusia. Namun, belum banyak jurnal yang meneliti suplementasi asam amino pada pasien-pasien yang mengalami obesitas dan berbagai komplikasi metabolik.4-6

Komposisi makronutrien dan mikronutrien yang diberikan pada pasien ini berpedoman pada beberapa beberapa konsensus internasional yang menjadi rujukan penulis pada pembahasan makalah ini. Namun, pada pembahasan pemberian suplementasi asam amino pada diabetes melitus tipe 2 dengan penyakit ginjal kronik, penulis mendapatkan hasil yang belum konklusif. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Mitch dan kawan-kawan, dikatakan bahwa pemberian suplementasi asam amino dalam dosis 20-25 gram per hari dapat menjaga kebutuhan pasien dengan penyakit ginjal kronik stadium lanjut. Studi lain yang dilakukan oleh Bergström dan kawan-kawan, menyimpulkan bahwa suplementasi asam amino pada diet rendah protein (0,3 gram protein/kgBB/hari) yang mengandung campuran asam amino yang terdiri dari lebih banyak valin daripada leusin dan isoleusin, serta ditambahkan histidin dan tirosin, akan menjaga keseimbangan nitrogen tubuh serta memperbaiki plasma asam amino dan menjaga massa otot.7-8 Sementara dari dua studi lainnya yang disimpulkan bahwa terjadi perlambatan dari progresifitas pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronik yang bisa jadi bukan disebabkan oleh pemberian suplementasi asam amino tetapi adanya perubahan metabolisme yang disebabkan oleh kondisi klinis pasien.9-10

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, penulis merasa perlu untuk membuat laporan kasus ini, agar dapat mempelajari tentang pemberian terapi medik gizi pada pasien obesitas morbid dengan gangguan endokrin yang luas,  mengalami penyakit ginjal kronik stadium 4 dan diabetes melitus tipe 2, sekaligus mempelajari pengaruh pemberian suplementasi asam amino dosis tinggi pada kasus tersebut. Sehingga, diharapkan dapat mengimplementasikan kesimpulan dari terapi medik gizi pada laporan kasus ini di kasus-kasus serupa. 

Pasien pada laporan kasus adalah pasien rawat jalan di Departemen Nefrologi dan Dialisa ASL Cagliari (Aree socio-sanitarie locali) yang merupakan sebuah pusat kesehatan lokal dan terletak di Kota Sant’Elena, Provinsi Cagliari, Pulau Sardinia, Italia. Pasien adalah seorang wanita, berusia 38 tahun, dengan diagnosis obesitas morbid, hipoalbuminemia, hiperurisemia, gagal ginjal kronik stadium 4, hipertensi, hiperparatiroid sekunder, diabetes melitus tipe 2, dengan sindroma metabolik.4

Pasien sudah menderita obesitas sejak masih kanak-kanak. Dari riwayat berat badan diketahui bahwa pada usia pubertas berat badan pasien mencapai 110 kg. Saat berusia 16 tahun pasien menjalani diet tinggi protein dengan suplemen amphetamine dan mengalami penurunan berat badan sebanyak 50 kg. Pasien juga telah mencoba berbagai macam diet dan implantasi dari gastric balloon, tetapi tidak berhasil, kenaikan berat terjadi terus menerus hingga saat pasien berobat pertama kali dengan berat 219 kg, lingkar pinggang 190 cm, lingkar pinggul 180 cm, IMT 81 kg/m2 dan pasien dikategorikan sebagai obesitas morbid.4,11

Berdasarkan klasifikasi WHO untuk obesitas di kawasan Asia-Pasifik, obesitas dikategorikan menjadi: (1) Berat badan lebih beresiko obesitas dengan IMT 23-24,9 kg/m2; (2) Obesitas 1 dengan IMT 25-29,9 kg/m2; (3) Obesitas II dengan IMT ≥ 30 kg/m2. Sedangkan menurut klasifikasi WHO untuk obesitas di kawasan Eropa, obesitas dikategorikan menjadi: (1) Berat badan lebih beresiko obesitas dengan IMT 25-29 kg/m2; (2) Obesitas I dengan IMT 30-34,9 kg/m2; (3) Obesitas II atau obesitas berat dengan IMT 35-39,9 kg/m2; (4) Obesitas III atau obesitas sangat beratdengan IMT ≥ 40 kg/m2. Sedangkan,obesitas morbid adalah terminologi untuk obesitas dengan IMT ≥ 40 kg/m2 (obesitas sangat berat), atau obesitas berat yangdisertai dengan adanya faktor-faktor komorbid, antara lain adanya diabetes melitusdan hipertensi. Pasien pada laporan kasus ini dikategorikan berdasarkan klasifikasi WHO untuk kawasan Eropa, dan pasien menderita obesitas morbid.11,12

Pasien ini juga mengalami kondisi sindroma metabolik yang ditandai dengan adanya peningkatan lingkar pinggang, peningkatan trigliserida, penurunan HDL-kolesterol, peningkatan tekanan darah, serta adanya peningkatan gula darah puasa (pasien didiagnosis diabetes melitus tipe 2 dan telah menggunakan insulin). Sindroma metabolik pada pasien ditegakkan apabila ditemui sekurang-kurangnya 3 dari 5 kriteria, yaitu: (1) Peningkatan lingkar pinggang >102 cm pada pria atau >88 cm pada wanita; (2) Peningkatan trigliserida >150 mg/dL atau adanya penggunaan obat-obatan yang ditujukan untuk mengatasi kenaikan trigliserida; (3) Penurunan HDL-kolesterol <40 mg/dL pada pria atau <50 mg/dL pada wanita atau adanya penggunaan obat-obatan yang ditujukan untuk mengatasi penurunan HDL-kolesterol; (4) Peningkatan tekanan darah >130 mmHg untuk sistolik dan >85 mmHg untuk diastolik; (5) Peningkatan gula darah puasa >100 mg/dL atau penggunaan obat-obatan yang ditujukan untuk mengatasi peningkatan glukosa darah.13   

Etiologi obesitas bersifat kompleks dan multifaktorial. Pada kasus yang sederhana, obesitas terjadi karena adanya ketidakseimbangan energi yang berlangsung kronik, yang disebabkan karena adanya asupan makanan yang meningkat dan berlanjut dengan peningkatan kebutuhan yang meningkat pula pada keadaan obesitas. Interaksi kompleks yang menyebabkan obesitas terjadi antara faktor-faktor biologis (genetik dan epigenetik), perilaku makan, lingkungan sosial dan sekitar pasien, kesemua ini berpengaruh dalam pengaturan keseimbangan energi dan penyimpanan cadangan lemak.12

Etiologi obesitas secara objektif dapat dibedakan menurut kausanya, yakni obesitas yang terjadi primer atau sekunder. Obesitas yang terjadi karena kausa primer disebabkan oleh karena adanya penyebab genetik, gaya hidup, gangguan monogenik (mutasi dari melanokortin-4, defisiensi leptin, defisiensi pro-opiomelanokortin), dan berbagai sindroma seperti Prader Willi, Bardet-Biedl, Cohen, AlstrÖm, dan Froehlich. Sedangkan, berdasarkan kausa sekunder, obesitas dapat disebabkan karena gangguan neurologis (cedera otak, tumor otak, konsekuensi dari radiasi kranial, dan obesitas hipotalamik), gangguan endokrin (hipotiroid, sindroma Cushing, defisiensi hormon pertumbuhan, dan pseudohipoparatiroid), gangguan psikologis (depresi, gangguan makan), serta karena penggunaan obat-obatan (antidepresan trisiklik, kontrasepsi oral, antipsikotik, antikonvulsif, glukokortikoid, sulfonilurea, glitazon, β-bloker).14

Obesitas terkait dengan berbagai macam risiko kesehatan atau dapat menyebabkan komplikasi pada organ-organ tubuh lainnya (kondisi komorbid). Komplikasi metabolik dapat bermanifestasi sebagai diabetes, resistensi insulin, sindroma metabolik, gangguan fungsi tiroid, hiperurisemia, gout, dan inflamasi derajat sedang. Gangguan kardiovaskular juga dapat terjadi seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, stroke dan trombolisme vena. Penyakit respirasi yang dapat terjadi sebagai komplikasi obesitas seperti asma, hipoksemia, sindroma sleep apneu, dan sindroma hipoventilasi obesitas. Gangguan gastrointestinal akibat obesitas yang mungkin terjadi adalah penyakit kandung empedu, non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD), non-alcoholic steatohepatis (NASH), refluks gastro-oesofageal, dan hernia. Obesitas juga bisa menjadi etiologi dari berbagai kanker yang terjadi di daerah esofagus, usus halus, kolon, rektum, hati, kandung empedu, pankreas, ginjal, leukimia, mieloma multipel, limfoma. Pada wanita, obesitas berkaitan erat dengan kanker endometrium, serviks, ovarium, payudara (paska menopause). Sedangkan pada laki-laki obesitas berkaitan dengan terjadi kanker prostat. Selain komplikasi-komplikasi di atas, besarnya beban tubuh akibat obesitas seringkali mengakibatkan lutut dan sendi-sendi penopang berat tubuh mengalami rasa nyeri dan inflamasi yang disebut sebagai osteoatritis.3,12

Dari berbagai studi, penurunan berat badan dilaporkan memberikan outcome klinis penyakit yang baik pada berbagai kondisi komorbid pada obesitas, antara lain pada diabetes melitus tipe 2, hipertensi, dislipidemia dan sindroma metabolik, penyakit kardiovaskular, osteoartritis, kanker, dan sleep apneu. Sedangkan, pada NAFLD, penurunan berat badan memiliki berbagai outcome yang bervariasi.14

Penurunan berat badan diindikasikan untuk penderita obesitas dengan IMT ≥30 kg/m2 atau IMT 25-29.9 kg/m2 yang memiliki risiko tambahan seperti diabetes, prediabetes, hipertensi, dislipidemia, lingkar pinggang yang besar, serta komorbid obesitas lainnya. Sedangkan untuk pasien dengan kategori berat badan normal 18,5-24,9 kg/m2 disarankan untuk tidak menambah berat badan, begitu juga dengan pasien dengan IMT 25-29,9 kg/m2 tanpa adanya faktor risiko atau komorbid obesitas. Penurunan berat badan yang realistis dan bermanfaat direkomendasikan sebesar 5-10% dari berat badan inisial dan dilakukan dalam 6 bulan. Pembatasan kalori dilakukan dengan melakukan defisit energi sebesar ≥500 kkal/hari yang biasanya bisa dicapai dengan pemberian energi sebesar 1200-1500 kkal/hari untuk wanita dan 1500-1800 kkal/hari untuk laki-laki. Pemberian restriksi kalori bersifat individualistik untuk setiap pasien dan disesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Very low calorie diets atau VLCD (<800 kkal/hari) hanya dapat dilakukan bila ada pemantauan medis setiap hari (misalnya di rumah sakit) serta adanya intervensi gaya hidup yang intensif pada pasien-pasien yang menjalankan VLCD. Selama menjalani program penurunan berat badan dilakukan manjemen dan monitoring untuk hipertensi, dislipidemia, dan kondisi yang berhubungan dengan obesitas lainnya. Farmakoterapi diindikasikan untuk diberikan di awal program penurunan berat badan pasien-pasien dengan IMT ≥30 kg/matau≥ 27 kg/m2 dengan komorbiddan terdapat riwayat kegagalan dalam menjalani program penurunan berat badan sebelumnya. Pembedahan direkomendasikan pada pasien-pasien dengan IMT ≥40 kg/m2 atauIMT  ≥35 kg/m2 dengan komorbid.15

Dari anamnesis, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat berbagai faktor penyebab terjadinya obesitas pada pasien ini. Faktor genetik, perilaku makan berlebih sejak masa kanak-kanak, serta adanya riwayat penyakit gangguan fungsi tiroid yaitu Hashimoto’s Thyroiditis yang terjadi pada pasien ini. Ketiga faktor ini kemungkinan adalah etiologi-etiologi yang mendasari dan memperberat terjadinya obesitas pada kasus ini.3,12,14 Pasien juga mengalami berbagai penyakit komorbid obesitas yang dideritanya, yakni adanya diabetes melitus tipe 2, hipertensi, sindroma metabolik, dan gangguan fungsi tiroid.  Di masa remaja pasien pernah menjalani program diet dan berhasil menurunkan berat badan sebesar 50 kg dengan menjalankan diet rendah protein dan meminum amphetamine. Pasien juga pernah melakukan implantasi gastric balloon, namun setelahnya pasien gagal menjaga berat badannya dan berat badannya terus bertambah. Penggunaan amphetamine sebagai obat penurun berat badan harus diresepkan oleh dokter, dan biasanya diresepkan sebagai phentermine. Gastric ballon adalah prosedur untuk memenuhi lambung dengan balon berisi air yang dimasukan dengan kateter ke dalam lambung. Prosedur ini bersifat temporer (lebih kurang 16 minggu). Balon dapat mengkerut dengan sendirinya dan dibuang melalui kolon.14-16

Penurunan berat badan pada pasien ini, dilakukan dengan cara melakukan restriksi kalori sebesar 500 kkal dari asupan yang biasa dikonsumsi oleh pasien sehari-hari. Dalam 3 bulan pertama pasien mengalami penurunan berat badan sebanyak 10 kg atau sekitar 5%, dimana ini sesuai dengan rekomendasi dari American Heart Association/American College of Cardiology/The Obesity Society (AHA/ACC/TOS), sehingga diharapkan dalam 3 bulan berikutnya pasien akan mengalami 5% penurunan berat badan kembali. Namun, pada bulan ke-4 pasien mengalami gangguan respirasi dengan hipoksia yang mengakibatkan pasien dirawat inap dan hanya diberikan nutrisi dengan kalori rendah melalui enteral (disimpulkan sebagai trophic feeding oleh penulis) dengan tetap diberikan suplementasi asam amino, elektrolit, dan vitamin,  dan dalam 10 hari perawatan pasien mengalami penurunan berat badan sebanyak 21 kg. Penulis menggunakan target berat badan awal dengan melakukan pengurangan sebanyak 10% dari berat badan inisial pasien, dan tidak menggunakan berat badan ideal ataupun adjusted weight pada pasien ini, dari sebuah studi diketahui bahwa adjusted weight tidak direkomendasikan digunakan pada pasien-pasien dengan IMT >50 kg/m2 sedangkan berat badan ideal dengan menggunakan rumus Broca menyebabkan pengurangan berat badan pasien sebanyak 30% (terlalu drastis).15,17,18

Penderita obesitas dapat dikatakan memiliki komposisi masa lemak yang tinggi. Sebuah studi potong lintang dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 1114 orang, yang mengaitkan IMT dengan persentase lemak tubuh yang divalidasi dengan bio electrical impedance (BIA), menyimpulkan bahwa persentase lemak tubuh dapat dihitung berdasarkan IMT dan usia pasien. Formula yang dipergunakan adalah: (1) % Lemak tubuh laki-laki = (IMT×1.114)+(usia×0.139)–9.662; (2) % Lemak tubuh wanita = (IMT×0.918)+(usia×0.153)+3.819. Berdasarkan formula ini kita dapat memperkirakan bahwa lebih dari 50% dari komposisi lemak tubuh pasien ini adalah lemak (dari perhitungan didapatkan 84%).19

Jaringan lemak tubuh dahulu hanya dikenal sebagai jaringan penyimpan cadangan lemak (triasilgliserol). Dalam beberapa dekade terakhir, melalui berbagai studi biologi dan biokimia dari jaringan lemak, diketahui bahwa jaringan lemak adalah sebuah organ dinamis penyimpan cadangan lemak yang juga berfungsi sebagai organ endokrin dan mampu mensintesis sejumlah komonen aktif biologis yang berperan dalam regulasi homeostasis tubuh. Pada mamalia, saat ini dikenal dua macam jaringan lemak, yaitu brown adipose tissue (BAT) dan white adipose tissue (WAT). BAT berperan dalam thermogenesis, utamanya pada awal-awal kehidupan manusia (saat bayi), dan jumlahya pada manusia dewasa hampir tidak ada, lemak ini menghasilkan panas tubuh melalui mekanisme oksidasi asam lemak. Berbagai penelitian terakhir juga telah menemukan jenis lemak lainnya pada manusia yaitu Brite/Beige adiposa yang memiliki fungsi hampir serupa dengan BAT adiposa dalam hal termogenesis. BAT dan beige adiposa saat ini dikembangkan dalam terapi obesitas melalui pemberian agen farmakoterapi yang dapat merangsang pembentukan BAT dan beige adiposa pada tubuh manusia dewasa. WAT adiposa berperan tidak terlalu banyak atau bahkan hampir tidak sama sekali dalam hal termogenesis, tetapi fungsi WAT di dalam tubuh lebih kompleks dan tak hanya berperan dalam lipogenesis dan lipolisis untuk menghasilkan energi/adenosin tripospat (ATP). Distribusinya pada tubuh manusia sangat luas. WAT adalah organ endokrin terbesar dalam tubuh manusia, yang mampu mensekresikan sejumlah hormon, faktor-faktor pertumbuhan, enzim, sitokin, faktor komplemen dan protein matriks. WAT juga mengekspresikan sejumlah reseptor yang berimplikasi pada regulasi sejumlah proses seperti asupan makan, pengeluaran energi, metabolisme homeostasis, imunitas, dan homeostasis tekanan darah.20-21

Angiotensin, suatu faktor yang diekspresikan oleh jaringan adiposa, kadarnya di darah sangat dipengaruhi oleh nutrisi. Jumlahnya menurun dalam keadaan puasa dan meningkat dengan pemberian makan. Angiotensin-II menstimulasi sintesis prostasiklin, diferensiasi adiposa, dan lipogenesis. Angiotensin-II juga dikenal perannya pada fungsi kardiovaskular, seperti pada terjadnya hipertensi dan hemostasis. Diketahui bahwa angiotensin-II dapat berpotensi untuk mengubah bentuk dari platelet darah manusia.19,22

Sejumlah substansi bioaktif yang dinamakan sebagai adipositokin disekresikan oleh WAT. Ketidakseimbangan dan pro dan anti-inflamasi adipositokin pada penderita obesitas akan menyebabkan suatu kondisi sindroma metabolik. Adiponektin, adalah adipositokin anti-inflamasi yang secara eksklusif disekresikan oleh jaringan adiposa. Tetapi, konsentrasinya justru menurun dengan bertambahnya masa lemak tubuh. Fungsinya adalah memperbaiki sensitifitas tubuh terhadap insulin dan menstimulasi oksidasi asam lemak dan ambilan glukosa di sel-sel otot dan jaringan adiposa. Adiponektin juga turut serta dalam melakukan supresi pembentukan glukosa hepatik. Bertolak belakang dengan adiponektin, sejumlah adipositokin memiliki efek pro-inflamasi, antara lain seperti plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) yang melakukan inhibisi sistem fibrinolisis dan menyebabkan terjadinya aterosklerosis, tumor necrosis factor-α (TNF- α) yang turut berperan dalam menyebabkan resistensi insulin pada obesitas, visfatin yang menginduksi pembentukan TNF-α dan interleukin-6 (IL-6) serta dikatakan memiliki efek seperti insulin.19,23   

Leptin adalah peptida bermolekul kecil (16kDa) yang merupakan suatu sitokin pre-inflamasi yang secara struktur dan fungsi masuk kedalam kelompok IL-6. Leptin merupakan peptida anoreksigenik yang meningkatkan energy expenditure, dan dibersihkan dari plasma oleh ginjal melalui filtrasi glomerulus yang diikuti dengan terjadi degradasi proteolisis pada tubulus renal. Reseptor leptin tidak hanya terletak di sistem saraf pusat, tetapi juga di jaringan perifer (hematopoiesis dan sel-sel imun), mengindikasikan bahwa leptin memiliki fungsi yang tidak terbatas pada regulasi asupan makan dan energy expenditure. Konsentrasi leptin tinggi pada penderita obesitas dan meningkat seiring dengan banyaknya asupan makan. Konsentrasi leptin menurun seiring dengan kadar level insulin dalam darah serta meningkat dengan masuknya makanan atau respon terhadap stimulasi insulin. Leptin diekspresikan utamanya oleh jaringan lemak, dan sejumlah kecil disekresi oleh otot rangka, gaster, dan otak. Leptin meningkat dengan adanya glukokortikoid, infeksi akut, serta sitokin pro-inflamasi. Sebaliknya, cuaca dingin, stimulasi adrenergik, hormon pertumbuhan, melatonin, merokok, thiazolidinediones, dan hormon tiroid menurunkan konsentrasi leptin.19,23-25

Jauh sebelum adanya diagnosis sindroma metabolik dikenal, gangguan fungsi tiroid telah dilaporkan terjadi pada pasien-pasien dengan obesitas. Komposisi tubuh dan hormon tiroid berhubungan erat satu sama lain dan berpengaruh dalam pengaturan metabollisme basal dan termogenesis serta  mempengaruhi metabolisme glukosa dan lemak. Diketahui bahwa hipotiroidisme menyebabkan peningkatan berat badan dengan mekanisme memicu penurunan laju metabolisme basal dan termogenesis.3 Sebaliknya, abnormalitas dari fungsi tiroid dikatakan terjadi sekunder akibat kondisi obesitas. Peningkatan level serum thryoid stimulating hormone (TSH) dengan konsentrasi normal hormon tiroid di plasma menandakan terjadinya suatu kondisi hipotiroid subklinis, hal ini umum terjadi pada penderita obesitas. Dari berbagai studi potong lintang diketahui bahwa terdapat korelasi positif antara level serum TSH dan IMT. Pada anak-anak dengan obesitas, terdapat peningkatan sedang dari level TSH yang berhubungan dengan kadar T3 atau T4 bebas yang normal atau sedikit meningkat, hal ini menandakan terjadinya proses adaptasi yang terjadi karena adanya peningkatan energy expenditure. Peningkatan TSH pada anak-anak dan juga pada dewasa, dikatakan dapat kembali menjadi normal setelah adanya penurunan berat badan yang substansial.3,26

Hashimoto’s Thyroiditis (HT), disebut juga sebagai chronic lymphocytic thyroiditis atau autoimmune thryoiditis, adalah suatu penyakit autoimun yang menyebabkan sistem imunitas tubuh menyerang kelenjar tiroid, dan menyebabkan terjadinya inflamasi pada kelenjar tersebut sehingga terjadi penurunan dalam kemampuan kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon tiroid dan biasanya bermanifestasi sebagai hipotiroid. Pada penyakit ini, sejumlah besar limfosit terakumulasi dalam kelenjar tiroid dan memproduksi antibodi untuk memulai proses autoimun. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, dapat muncul pada usia kanak-kanak, tetapi lebih umum terjadi di usia 30-50 tahun. Pasien dengan HT, pada awalnya dapat tidak bergejala. Seiring dengan perjalanan penyakit, kelenjar tiroid biasanya membesar (goiter) tetapi tidak terasa sakit. Setelah beberapa tahun menderita penyakit ini, kerusakan tiroid yang terjadi menyebabkan kelenjar tiroid mengisut dan goiter menghilang. Tidak semua pasien dengan HT akan mengalami hipotiroid, terkadang hipotiroid yang terjadi adalah subklinis (ringan tanpa gejala). Gejala-gejala hipotiroid sendiri antara lain adalah rasa lelah, peningkatan berat badan, tidak mampu menahan rasa dingin, nyeri sendi dan otot, konstipasi (defekasi kurang dari 3 kali dalam seminggu), rambut menjadi kering dan menipis, menstruasi tidak teratur, sulit hamil pada wanita, depresi, sulit mengingat-mudah lupa, dan denyut jantung lambat. Diagnosis pasti HT dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium, ditandai dengan adanya peningkatan TSH, penurunan level T4, dan adanya test antibodi-antitiroid yang positif (anti-TG antibodi yang menyerang protein tiroglobulin dan anti-tiroperoksidase yang menyerang tiroksiperoksidase yang berfungsi mengubah T4 menjadi T3 di dalam sel-sel pada kelenjar tiroid). Selain itu pemeriksaan ultrasound dan CT-Scan juga dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis HT. Pada pasien ini, kondisi obesitas bisa jadi merupakan faktor pemicu terjadinya HT pada pasien ini yang bermanifestasi sebagai hipotiroid, tetapi dapat  juga terjadi sebaliknya, dimana HT pada pasien ini memperberat atau turut berkontribusi pada terjadinya obesitas. Pasien mendapat terapi Levothyroxine, suatu tiroksin (T4) sintetik, karena T4 berada dalam tubuh lebih lama daripada T3, dan memastikan tubuh memiliki suplai hormon tiroid sepanjang hari.Kondisi hipotiroid hampir selalu dapat diatas dengan pemberian sintetik tiroksin, selama pemberiannya sesuai dengan dosis rekomendasi dan pasien mengkonsumsi obat ini setiap hari sesuai instruksi dokter.27-29

Diabetes melitus (DM), berdasarkan American Diebetes Association (ADA 2017), diklasifikasikan dalam 4 tipe penyakit. (1) Tipe 1 diabetes, terjadi karena autoimun dan perusakan sel-sel beta pankreas yang menyebabkan defisiensi insulin absolut; (2) Tipe 2 diabetes, yang terjadi karena penurunan sekresi sel beta pankreas karena adanya resistensi insulin; (3) Diabetes melitus gestasional, didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga dari kehamilan yang tidak berhubungan dengan kejadian diabetes sebelum terjadinya diabetes; (4) Diabetes tipe khusus, seperti sindrom monogenik diabetes (pada diabetes neonatal dan maturity-onset diabetes of the young (MODY), penyakit pada eksokrin pankreas (misalnya fibrosis kistik), obat-obatan yang menginduksi terjadinya diabetes (glukokortikoid yang digunakan dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ). Berdasarkan parameter laboratorium diabetes melitus didiagnosis bila terdapat kadar gula darah puasa ≥126 mg/dL (puasa didefinisikan sebagai tidak adanya asupan selama sekurang-kurangnya 8 jam) atau kadar gula darah plasma 2 jam paska tes toleransi glukosa oral dengan menggunakan 75 gram glukosa  ≥200 mg/dL atau kadar A1C ≥6,5% dengan menggunakan metode yang disertifikasi oleh NGSP dan terstandarisasi oleh DCCT assay atau pada pasien-pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau mengalami krisis hiperglikemia dengan kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dL.30

Pasien pada laporan kasus ini didiagnosis menderita DM tipe 2. Dikatakan bahwa pasien memiliki kontrol glikemik yang tidak baik sekalipun kadar A1c berada dalam batas normal. Pada kondisi dimana terjadinya pergantian sel darah merah yang cepat atau pemendekan umur sel darah merah, seperti hemodialisis, terapi eritropoietin, riwayat perdarahan ataupun transfusi, maka diagnosis DM tidak ditegakkan berdasarkan kadar A1c melainkan dengan kriteria glukosa darah. Pada kondisi-kondisi tersebut, kadar A1c sering diinterpretasikan lebih rendah daripada nilai yang seharusnya.30

Pasien telah mendapat terapi insulin dosis tinggi sebesar 130 unit sehari. Pemberian insulin bermanfaat pada pasien DM dan dokter harus memberikan edukasi kepada pasien-pasien DM terkait kondisi alamiah DM yang cenderung progresif dan penggunaan insulin bukanlah akibat dari kegagalan terapi perubahan gaya hidup ataupun obat-obatan sebelumnya. Edukasi self monitoring of blood glucose (SMBG), terapi diet, dan edukasi untuk menghindari dan manajemen apabila terjadi kondisi hipoglikemia, sangat penting pada pasien-pasien DM yang menggunakan insulin. Insulin yang biasa diberikan kepada pasien DM dapat dibagi dalam 4 jenis, yaitu insulin basal, insulin bolus, insulin premixed, dan insulin konsentrat. Sedangkan berdasarkan durasi kerjanya dapat dibagi menjadi insulin kerja sangat cepat (Apidra®, Novorapid®, Humalog®), kerja pendek (Humulin-R®, Actrapid®), kerja menengah (Humulin-N®, Insulatard®), kerja panjang (Lantus®, Levemir®), dan campuran (70/30 Humulin/Mixard®, 50/50 Humulin®, 70/30 Novomix 30®).30-32

Ada beberapa cara untuk memulai dan menyesuaikan dosis terapi insulin pada pasien DM tipe 2. Sebagai pegangan, jika kadar glukosa darah tidak terkontrol baik (A1c >6,5%) dalam jangka waktu 3 bulan dengan penggunaan obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi kombinasi obat antidiabetik oral dan insulin. Terapi insulin bersamaan dengan intervensi gaya hidup juga dapat langsung diberikan pada pasien-pasien dengan kontrol glikemik yang buruk dan disertai kondisi katabolisme (glukosa darah puasa >250 mg/dL, kadar glukosa sewaktu menetap >300 mg/dL, A1c >10%, atau ditemukan ketonuria). Selain itu, dapat juga diberikan pasien DM yang memiliki gejala nyata (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan). Apabila gejala hilang, obat antidiabetik oral dapat ditambahkan dan penggunaan insulin dapat dihentikan. Dosis dimulai dengan pemberian basal insulin disertai atau tidak dengan metformin ataupun agen non-insulin lainnya. Dosis dimulai dari 10 unit perhari atau 0,1-0,2 unit/kg/hari. Setelah itu lakukan penyesuaian dosis sebesar 10-15% atau 2-4 unit 1-2 kali seminggu agar mencapai target kadar glukosa puasa. Bila terjadi kondisi hipoglikemia dicari penyebabnya, bila tidak ada penyebab yang jelas turunkan dosis sebesar 4 unit atau 10-20% dari dosis yang diberikan. Bila langkah dasar ini tidak juga mampu mengontrol kadar A1c, maka dibutuhkan terapi kombinasi dengan insulin tipe lainnya.31,33

Rekomendasi kontrol glikemik untuk kadar A1c pada penderita DM dewasa pada populasi umum dan tidak hamil adalah <7%, tetapi pada penderita DM dengan riwayat terjadinya hipoglikemia berat, harapan hidup yang rendah, memiliki kondisi komorbid seperti pada pasien ini, maka kadar A1c <8 % dikatakan lebih tepat. Target kadar gula darah sebelum makan adalah 80-130 mg/dL dan target gula darah setelah makan <180 mg/dL. Target bersifat individual dan tetap memperhatikan kondisi klinis pasien. Kadar gula darah setelah makan ditargetkan apabila target A1c tidak tercapai sekalipun target gula darah sebelum makan tercapai. Kadar gula darah setelah makan dihitung dalam 1-2 jam setelah dimulainya makan, yang merupakan puncak kadar gula darah pada kebanyakan pasien-pasien DM.30,33

Kebanyakan pasien-pasien DM dan hipertensi, seperti pada pasien ini, harus mendapatkan terapi perubahan gaya hidup dan farmakoterapi agar tekanan darah sistoliknya dapat mencapai <140 mmHg dan diastoliknya <90 mmHg. Terapi ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi kardiovaskular pada pasien. Pasien ini memiliki kontrol tekanan darah yang buruk sehingga ACE inhibitor yang sudah dikonsumsi pasien ditambah dengan angiotensin reseptor bloker, beta bloker, doxazosin, dan calcium channel inhibitor. Beta bloker tidak dikontraindikasikan pada pasien diabetes tetapi dapat sedikit memperburuk toleransi glukosa, juga mengganggu respons metabolik dan autonomik terhadap hipoglikemia. ACE inhibitor dan angiotensin reseptor bloker (ARB) adalah pilihan pertama pada pasien-pasien diabetes dengan hipertensi. Calcium channel bloker dikatakan memiliki efek protektif terhadap terjadinya kardiomiopati diabetik dengan mencegah pembentukan aterosklerosis, dan mencegah terjadinya progresi dari gagal ginjal kronik pada diabetes. Pemberian doxazosin pada penderita diabetes dengan hipertensi dikatakan juga dapat memperbaiki kadar kolesterol dan LDL kolesterol pada pasien. ARB ditoleransi lebih baik daripada ACE inhibitor di ginjal. Dikatakan bahwa ARB mencegah proteinuria di ginjal serta memiliki efek renal protektif, sehingga pemberiannya pada pasien-pasien diabetes dengan hipertensi dapat bermanfaat dalam mencegah progresifitas terjadinya penyakit ginjal.30, 34,35

Pemberian statin direkomendasikan  pada pasien-pasien diabetes dengan dislipidemia untuk mencegah terjadinya komplikasi kardiovaskular, tetapi pada pasien ini statin tidak diberikan karena terjadi intoleransi statin. Intoleransi statin didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana pasien tidak dapat menggunakan statin karena timbulnya efek samping atau bukti pemeriksaan darah yang menunjukkan marker dari fungsi hati atau fungsi otot (kreatin kinase) menjadi abnormal. Gejala umum dari intoleransi statin adalah terjadinya nyeri pada otot, tubuh terasa lemah, atau terjadi keram, yang biasa disebut sebagai mialgia. Penggunaan statin juga dapat meningkatkan level serum kreatinin dalam darah.36

Komplikasi mikrovaskular pada diabetes yang terdapat pada pasien ini adalah terjadinya gagal ginjal kronik, yang pada awal pemeriksaan pasien sudah berada pada stadium 4. Perkembangan penyakit ginjal kronik pada diabetes berlangsung dalam 2 tahap. Pada tahap awal penyakit tidak bergejala tetapi sudah terjadi perubahan penting pada struktur dan fungsi ginjal, terjadi hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah plasma menuju ginjal. Hiperfiltrasi glomerulus ini berkaitan dengan terjadinya hiperglikemia. Reaksi ini dapat dijelaskan dalam dua teori yaitu teori tubular, yang menyatakan bahwa terjadinya hiper-reabsorpsi dari peningkatan intraluminal glukosa dan natrium pada tubulus proksimal, yang disertai dengan aktivasi dari proksimal natrium-glukosa transporter 1 dan 2 serta natrium-hidrogen exchanger 3. Teori kedua adalah teori vaskular, akibat adanya kerusakan vaskular pada diabetic kidney menyebabkan terjadi penurunan besar pada tahanan aliran darah pada arteriol afferent dibandingkan terhadap arteriole eferen, aktivasi berlebih dari sistem saraf simpatis, ketidakseimbangan pembentukan vasoaktif, menambah tekanan hidrolik pada kapiler glomerulus yang merusak autoregulasi ginjal. Faktor-faktor seperti atrial natriuretik eptide (ANP), endotelin-1 (ET-1), nitric oxide (NO), metabolit siklooksigenase dan asam arakidonat, dan sistem kallikrein-kinin,  aktivasi dari renin angiotensin-aldosteron sistem (RAAS) khususnya peningkatan dari angiotensin II, juga menambah kerusakan dari sistem autoregulasi ginjal dan menyebabkan disfungsi vaskularisasi glomerulus. Peningkatan aktivitas RAAS, tampak lebih sering pada pasien-pasien DM tipe 2 dengan obesitas, dan menyebabkan retensi natrium dan air, hipertensi, peningkatan tekanan hidrolik pada kapiler glomerulus, inflamasi, serta akhirnya menyebabkan kerusakan pada organ-organ tubuh.37,38

Gagal ginjal diklasifikasikan menjadi 5 stadium, yaitu: (1) Stadium 1, terjadi kerusakan ginjal dengan normal atau meningkatnya eGFR (≥90 ml/menit/1,73 m2); (2) Stadium 2, terjadi kerusakan ginjal dengan penurunan ringan eGFR (60-89 ml/menit/1,73 m2); (3) Stadium 3, terjadi penurunan derajat sedang dari eGFR (30-59 ml/menit/1,73 m2); (4) Stadium 4, terjadi penurunan derat berat eGFR (15-29 ml/menit/1,73 m2); (5) Stadium 5, gagal ginjal terminal (<15 ml/menit/1,73 m2 atau dialisis). Kerusakan ginjal ditandai dengan rasio albumin urin terhadap kreatinin (UACR) ≥30 mg/g kreatinin atau kondisi abnormal/patologis lainnya pada urin, darah, atau imaging test.30,39

Terapi medik gizi pada pasien obesitas yang menderita penyakit ginjal kronik dan DM tipe 2 disertai dengan komorbid lainnya, pada pasien ini adanya gangguan fungsi tiroid yang bermanifestasi sebagai hipotiroid dan hipertensi, dimulai dengan program penurunan berat badan, sebagaimana yang dilakukan pada kasus ini. Terapi diet, aktitifitas fisik, dan terapi perilaku dirancang agar setidaknya tercapai penurunan sebanyak >5% dari berat badan inisial. Defisit energi diberikan sebesar 500-700 kkal dari asupan harian, dan jumlah pastinya bersifat individual. Aktivitas fisik yang direkomendasikan pada penderita diabetes adalah aktivitas fisik atau olahraga yang disenangi dan yang mungkin untuk dilakukan oleh pasien. Olahraga yang dilakukan adalah yang melibatkan otot-otot besar dan sesuai dengan keinginan agar manfaat olahraga dapat dirasakan secara terus-menerus. Olahraga dilakukan secara teratur dan dilakukan pada saat yang dirasa menyenangkan. Pada diabetisi tipe 1, sebaiknya olahraga dilakukan pada pagi hari dan menghindari berolahraga pada malam hari. Olahraga dilakukan teratur, 3-5 kali perminggu (200-300 menit dalam seminggu) dengan intensitas ringan dan sedang (60%-70% maximum heart rate).30,32

Selanjutnya, terapi medik gizi pada kasus-kasus seperti ini dapat menitikberatkan pada kontrol glikemik dan tekanan darah. Tidak ada satu jenis diet yang bisa diterapkan untuk semua kasus diabetes dengan dislipidemia, hipertensi, gangguan fungsi ginjal yang disertai adanya gangguan fungsi tiroid dan hiperparatiroid sekunder yang tentunya harus dikontrol. Pada  kasus-kasus seperti ini, terapi medik gizi bersifat individualistik dan bergantung pada kemampuan judgement klinis dari tim terapi gizi, terutama peranan dokter spesialis gizi klinik, untuk mengikuti panduan yang ada serta mengimplementasikannya ke dalam kasus yang terjadi, dengan tetap memperhatikan variasi individual dan kondisi klinis pasien. Tujuan dari terapi gizi pada pasien-pasien diabetes adalah untuk membiasakan pasien mengkonsumsi pola makan sehat agar mencapai berat badan yang optimal, kontrol glikemik, tekanan darah, dan profil lipid yang baik, sehingga pada akhirnya komplikasi lanjut dari diabetes dapat dicegah.30 Pada pasien ini, sudah terjadi komplikasi dari diabetes, yaitu adanya gangguan fungsi ginjal yang ireversibel, sehingga pemberian terapi medik gizi pada pasien ini, diupayakan agar progresivitas dari komplikasi diabetes yang dialaminya tidak membuat pasien mengalami penurunan kualitas hidup.  

Monitoring dari asupan karbohidrat penting pada kasus ini untuk mengontrol gula darah setelah makan. Karbohidrat kompleks lebih ditekankan pemberiannya daripada karbohidrat sederhana pada pasien-pasien diabetes. Pasien juga diedukasi untuk mencegah terjadinya hipoglikemia. Serta pemberian makanan kudapan di malam hari dengan konsisten. Edukasi pasien untuk mengenal dan mengaplikasikan carbohydrate counting (carb counting) ke dalam diet hariannya dikatakan efektif untuk mencapai kontrol glikemik pada pasien-pasien yang menggunakan insulin. Pada carb counting sederhana pasien diajarkan untuk menghitung gram karbohidrat yang akan dimakan agar sesuai dengan dosis insulin yang akan diberikan. Satu unit insulin bolus kerja cepat diberikan untuk setiap 15 gram karbohidrat yang dikonsumsi. Karbohidrat sederhana (gula pasir) dan serat juga merupakan karbohidrat dan disertakan dalam penghitungan. Dalam satu kali makan besar biasanya diberikan 45-60 gram karbohidrat dan untuk kudapan diberikan 15-20 gram karbohidrat. Makanan yang dipilih hendaknya adalah makanan yang rendah lemak (mengandung lemak <20 gram dalam setiap sajian karbohidrat) karena makanan dengan tinggi lemak dapat memperlambat pengosongan lambung dan membuat kadar gula darah plasma meningkat lebih lama. Peranan dokter dalam metode ini adalah dalam penentuan rasio insulin/karbohidrat serta melakukan pemantauan yang teratur dan menentukan dosis insulin koreksi apabila diperlukan.30,40,41

Kebutuhan protein pada pasien-pasien dengan DM tanpa gangguan ginjal direkomendasikan sebesar 20-30%, hal ini telah dibuktikan dari beberapa penelitian, dan jumlah ini terbukti memberikan kontribusi dalam hal satiety. Pada pasien-pasien DM dengan gangguan ginjal yang disertai albuminuria dan penurunan eGFR, pemberian protein direkomendasikan sebesar 0,8 g/kgBB/hari. Asupan protein dapat memperbaikan sensitivitas insulin terhadap asupan karbohidrat, oleh karena itu sumber-sumber karbohidrat yang tinggi protein, tidak disarankan untuk digunakan dalam pencegahan hipoglikemia pada pasien-pasien DM dengan riwayat hipoglikemia berulang.30,42,43

Kebutuhan lemak pada orang dewasa pada populasi umum disimpulkan oleh Institute of Medicine (IOM) sebesar 20-35% dari total energi. Pada penderita DM, pemberian lemak lebih ditekankan bukan pada jumlah tetapi pada pemilihan jenis lemak yang akan diberikan. Diet mediterania yang tinggi mono unsaturated fatty acids (MUFA) dikatakan dapat memperbaiki kontrol glikemik dan profil lipid pada penderita DM. Sebaliknya, suplemen dikatakan tidak memberikan efek yang sama Sebuah telaah sistematis menyimpulkan bahwa suplemen asam lemak ω-3 tidak memperbaiki kontrol glikemik pada penderita DM tipe 2. Penelitian uji kontrol acak juga tidak mendukung pemberian suplemen ω-3 sebagai pencegahan primer ataupun sekunder untuk penyakit kardiovaskular.30,45-46 Dalam hal kebutuhan lemak, penderita DM dapat mengikuti panduan yang berlaku untuk populasi umum dalam hal asupan SAFA, PUFA, MUFA, kolesterol, serta menghindari konsumsi trans fat.30,47

Pemberian suplementasi mikronutrien pada pasien DM hingga saat ini masih belum jelas. Metformin diketahui dapat menyebabkan defisiensi vitamin B12, oleh karenanya monitoring kadar serum vitamin B12 direkomendasikan pada pasien-pasien DM terutama pada mereka yang mengalami anemia dan neuropati perifer. Apabila terbukti defisiensi, dapat diberikan vitamin B12 per oral sebesar 1000 µg/hari (kristal kobalamin) dan anjurkan pasien untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi vitamin B12 (kalkun, telur, dan hati ayam). Pemberian rutin suplementasi antioksidan seperti vitamin E dan C serta karoten belum direkomendasikan karena masih kurangnya bukti-bukti ilmiah. Begitu juga dengan pemberian vitamin D untuk memperbaiki kontrol glikemik yang hingga saat ini masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.30,48-50

Walaupun suplementasi mikronutrien tidak terbukti memberikan kontribusi dalam hal kontrol glikemik pada penderita DM, dari sebuah studi lain dikemukakan bahwa pemberian suplementasi seperti vitamin A dapat mengurangi terjadinya diare dan pneumonia. Pemberian suplementasi ini diberikan bersama dengan pemberian seng dikatakan memperbaiki barier epitel mukosa dan mengurangi terjadinya dermapostasis. Seng memainkan peranan penting dalam hal regulasi amilin. Pada sel yang kekurangan seng, amilin tidak dapat dimetabolisme dan dapat menumpuk sehingga menurunkan fungsi sel β. Defisiensi seng juga dikatakan dapat berakibat terjadinya intoleransi glukosa. 30,51,52

Vitamin C dan E berkontribusi dalam pencegahan infeksi saluran napas atas. Defisiensi vitamin D (1,25-(OH)2D3) pada penderita DM dikatakan meningkatkan risiko untuk terjadinya penyakit ginjal, vitamin D juga ditemukan pada sel β-pankreas dan semua jaringan yang sensitif terhadap insulin. Dosis vitamin D yang dapat diberikan menurut IOM adalah sebesar 600 IU (usia 1-70 tahun) dan 800 IU (pada usia >70 tahun), dengan dosis toleransi tertinggi adalah sebesar 2000 IU/hari. Konsumsi tinggi dari asam folat (>400 µg/hari) dikatakan bermanfaat dalam pencegahan infeksi dari saluran cerna dan ulkus pada mukosa gigi. 30,51,52

Selenium, tembaga, dan seng juga terlibat dalam pertahanan tubuh dengan bertindak sebagai antioksidan dan berperan sebagai kofaktor bagi enzim-enzim seperti glutation peroksidase (GSPX) dan superoksid dismutase (SOD). Pemberian besi juga dikatakan bermanfaat dalam mencegah anemia pada penderita DM. 30,51,52

Magnesium juga berperan sebagai kofaktor dari berbagai enzim dalam metabolisme glukosa dan transportasi glukosa di membran sel. Magnesium juga terlibat dalam sekresi insulin, pengikatan, dan aktivitasnya. Sedangkan, pemberian kromium yang dikatakan mencegah diabetes dan menurunkan resistensi insulin, hingga saat ini masih diteliti lebih lanjut karena belum ditemukan bukti-bukti yang memadai. Suplementasi mikronutrien diberikan apabila sudah terdapat bukti-bukti yang jelas akan defisiensi melalui klinis dan parameter laboratorium.30,51,52 

Untuk mengatasi hipertrigliseridemia, rekomendasi AHA adalah dengan melakukan pengurangan kalori dari diet harian untuk mencapai berat badan idaman. Mengurangi SAFA, trans fat, dan kolesterol dari diet harian. Mengganti SAFA dengan MUFA dan PUFA seperti yang terkandung di minyak canola dan zaitun. Tidak mengganti lemak dengan karbohidrat, karena pada sebagian orang itu akan meningkatkan trigliserida dan menurunkan HDL. Menjaga konsumsi lemak di 25-35% dari total kebutuhan. Mengurangi intake alkohol. Memperbanyak konsumsi buah-buahan, sayur-mayur, produk susu non-fat/low fat. Berolahraga tigapuluh menit dengan intensitas sedang, sedikitnya 5 kali dalam seminggu, dengan total 150 menit dalam seminggu. Menjalankan dietary approached to stop hypertension (DASH). Mengkonsumsi ikan yang tinggi asam lemak omega-3 ke dalam pola makan, ikan-ikan tersebut antara lain seperti salmon, herring, sardines, lake trout, dan tuna. Menjaga tekanan darah dan menghindari merokok. Apabila mengkonsumsi obat-obatan untuk menurunkan trigliserida maka pola makan tetap menjadi faktor penting, sebab kombinasi terapi obat, perubahan gaya hidup, peningkatan aktifitas fisik, perubahan pola makan dan diet, penurunan berat badan adalah efektif untuk mengendalikan trigliserida.30,53 

Pengendalian tekanan darah selain dengan menurunkan berat badan dapat ditambah dengan pembatasan asupan natrium <2300 mg/hari dan dalam penelitian lainnya dikatakan hingga <1500 mg/hari, menambah konsumsi buah dan sayur hingga 8-10 sajian perhari serta mengkonsumsi produk susu rendah lemak sebanyak 2-3 sajian perhari. Menghindari konsumsi alkohol (tidak lebih dari 2 sajian perhari pada laki-laki dan 1 kali pada wanita) serta meningkatkan aktivitas fisik.30,54

Pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 4 seperti pada pasien ini, dapat terjadi gangguan dari metabolisme mineral dan penyakit tulang. Menurunnya GFR akan menurunkan ekskresi fosfat yang meningkatkan fosfat plasma meningkat dan menurunkan kalsium plasma dan level kalsitriol. Dapat dilihat pada nilai baseline pada pasien ini bagaimana fenomena ini terjadi. Penurunan kalsitriol akan berkontribusi pada penurunan absorpsi kalsium di usus sehingga terjadi hipokalsemia yang akan meningkatkan produksi paratiroid hormon (PTH). Lebih lanjut lagi, fibroblast growth factor-23 (FGF-23), yang meningkat pada tahap awal penyakit ginjal kronik, diakibatkan sebagai konsekuensi dari retensi fosfat, yang berakibat pada supresis sintesis kalsitriol, sehingga terjadi peningkatan PTH. Untuk mengatasi hiperparatiroid sekunder akibat penyakit ginjal kronik, pasien ini diterapi dengan pemberian paricalcitriol (1,25-dihidroksiergokalsiferol, bentuk aktif dari vitamin D2) sebesar 2 µg/hari pada periode konservatif dan 2,6 µg/hari pada saat pasien menjalani dialisis.4,55

Penurunan berat badan pada pasien ini utamanya disebabkan karena pemberian suplementasi asam amino yang meningkatkan masa bebas lemak, menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan aktivitas glucosa transporter-4 (GLUT-4) serta peningkatan utilisasi lemak dan glukosa. Dari berbagai literatur dikatakan bahwa asam amino meningkatkan produksi adiponektin yang akan meningkatkan sensitifitas terhadap insulin.56-61 Berdasarkan studi literatur, dikatakan suplementasi asam amino pada pasien-pasien obesitas yang menderita sakit kritis dapat menyebabkan penurunan terhadap dosis kebutuhan insulin eksogen untuk pengontrolan gula darah serta meningkatkan efisiensi dari insulin endogen.62-64 Asam lemak rantai cabang (AARC) yang merupakan 50% dari komponen suplemen asam amino yang diberikan, meningkatkan aktivasi oksidasi-β lemak untuk dipergunakan sebagai energi. Asam amino juga berperan dalam metabolisme karbohidrat dan lemak, sehingga memberikan kontribusi pada metabolisme basal  dengan menurunkan sintesis asam lemak di sitoplasma dan meningkatkan akses asam lemak menuju mitokondria.65 Leusin, diberikan dalam dosis besar pada pasien ini (lebih kurang 13,75 g/hari), merupakan asam amino yang penting untuk menunjang anabolisme protein serta menghambat katabolisme protein, dan juga menghambat nafsu makan pada level hipotalamus.66-69 Pasien mengkonfirmasi terjadinya penurunan nafsu makan selama menjalani program diet. Sintesis urea diminimalisir karena ketiadaan arginin pada suplemen asam amino yang diberikan pada pasien ini. Dapat dilihat bahwa blood urea nitrogen selama periode pemantauan berada dalam level yang dapat diterima. Ini juga menandakan bahwa suplementasi asam amino yang diberikan efektif untuk merangsang biosintesis protein dan tidak terjadi katabolisme menjadi urea.70

Progresifitas dari penyakit ginjal kronik pada pasien ini tidak terhindari, walaupun selama periode pemantauan pasien berada dalam kondisi keseimbangan metabolisme yang baik. Hal ini dapat disebabkan karena adanya kondisi hipertensi, diabetes, obesitas, status inflamasi yang menetap, tingginya proteinuria, serta kemungkinan adanya penyakit ginjal lainnya yang belum terdeteksi.71

Kondisi dislipidemia terus membaik walaupun pasien tidak menerima statin. Hal ini mungkin disebabkan oleh penurunan berat badan, pemberian diet dan suplementasi asam amino.72 Anemia membaik dan pemberian eritropoietin dihentikan menjelang akhir pemantauan. Selama 20 bulan menjalani dialisis pasien tidak mengalami infeksi apapun, dan CRP berada pada level yang lebih rendah dibandingkan pada periode konservatif. Asam urat terus menurun pada akhir pemantauan, walau penggunaan allopurinol dihentikan pada saat dialisis dimulai, pada jurnal hal ini dikaitkan dengan suplementasi asam amino jangka panjang yang dikatakan dapat menghambat pembentukan asam urat. Terkait penurunan asam urat pada pasien ini, penulis lebih setuju apabila penurunan asam urat ini dikaitkan dengan dilakukannya dialisis pada pasien ini.73

Di akhir masa perawatan, kualitas hidup pasien telah meningkat dengan baik, pasien dapat berjalan dengan mandiri kembali. Pasien memiliki respon yang baik terhadap pemberian diet dan suplemen asam amino. Pasien dialihkan perawatannya ke departemen bedah plastik untuk menjalani remodeling abdomen dan pembuangan deposit lemak, dengan estimasi pengurangan berat badan paska operasi sebanyak 30 kg. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mendapatkan total penurunan berat badan sebanyak 130 kg, sehingga berat badan akhir pasien diharapkan adalah sebesar 89 kg, dengan IMT 33 kg/m2.4


Terapi medik gizi pada pasien dalam laporan kasus ini difokuskan pada penurunan berat badan secara bertahap. Dalam periode 40 bulan, pasien yang semula memiiki berat badan 219 kg, berangsur-angsur mencapai 129 dalam periode 40 bulan. Penurunan berat badan adalah sebesar 2,25 kg/bulan atau sebanyak 1% dalam setiap bulannya. Pasien mencapai IMT 48 kg/m2 pada saat dialihrawat ke departemen bedah plastik untuk menjalani remodeling abdomen dan pembuangan deposit lemak. Penurunan berat badan pada pasien ini, terbukti memberikan outcome klinis yang baik pada keseimbangan metabolisme, parameter laboratorium (profil lipid, proteinuria, fosfat, PTH, albumin, total protein, hemoglobin), kontrol glikemik, tekanan darah, serta kapasitas fungsional. Walaupun, progresivitas penyakit ginjal kronik pada pasien ini tetap berlangsung.

Komposisi makro dan mikronutrien pada pasien ini memperhatikan kontrol glikemik, tekanan darah, profil lipid sebagai target terapi. Selain itu pengontrolan dari kondisi hipotiroid yang terjadi pada pasien ini harus dilakukan sebelum terapi medik gizi dimulai. Kebutuhan kalori basal dihitung berdasarkan formula Harris Benedict atau ekuasi Mifflin-St Jeor. Faktor stres yang digunakan disesuaikan dengan kondisi katabolik dari pasien. Besaran protein yang dapat diberikan pada pasien dalam kondisi ini diperhitungkan dengan memperhatikan kondisi klinis pasien, tetapi sebagai patokan adalah diberikan diet rendah protein sebesar 0,6-0,8 g/kgBB/hari dan diutamakan berasal dari protein hewani. Sedangkan suplementasi asam amino dapat diberikan dan dimulai dalam dosis kecil atau moderat (20-25 gram/hari) dengan kandungan asam amino rantai cabang sebesar 50% dari komposisi suplementasi asam amino yang diberikan. Kebutuhan lemak adalah sebesar 20-35 % dari total kebutuhan harian dengan proporsi SAFA 5-7%, PUFA 7-10%, dan MUFA 10-15%. Pemberian mikronutrien yang dikatakan mungkin bermanfaat adalah vitamin A, C, E, B12, asam folat, dan D. Sedangkan untuk mineral, seng, selenium, tembaga, dan magnesium dapat diberikan sebesar dosis rekomendasi harian yang sesuai dengan usia dan gender pasien.

Pada pasien ini, penulis menyimpulkan, untuk terapi awal pada pasien ini diberikan diet sebesar 2200 kkal (yang merupakan restriksi kalori dari asupan inisial yang sebesar 2700 kkal). Target berat badan yang akan diberikan adalah sebesar 197 kg (menggunakan berat badan defisit 10% dari berat badan inisial). Target protein yang akan diberikan dimulai dengan 0,4 g/kgBB yaitu sebesar 79 gram dan ditambahkan suplementasi sebesar 20 gram sehingga total asam amino yang diberikan adalah sebesar lebih kurang 100 gram (atau sebesar 18%), kemudian ditambahkan lagi dengan lalu penulis memberikan lemak sebesar 25% atau sebesar 61 gram, karbohidrat yang akan diberikan adalah sebesar sisanya yang sebesar 57% atau sebesar 300 gram. Lemak yang diberikan utamanya yang mengandung tinggi MUFA dan PUFA seperti buah alpukat, minyak kanola, minyak zaitun, dll. Untuk karbohidrat diutamakan mendapat karbohidrat kompleks dan mengedukasi pasien untuk melakukan carb counting setelah rasio insulin/karbo telah diketahui.    

Referensi:

  1. Infodatin. Pusat Data dan Informasi. Situasi Penyakit Ginjal Kronik. Jakarta: KEMENKES-RI, 2017.
  2. Bailey R, Wang Y, Zhu V, Marcia FT, Rupnow. Chronic kidney disease in US adults with type 2 diabetes: an updated national estimate of prevalence based on Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) staging. BMC Res Notes 2014; 7: 415.
  3. Silvia L dan Radetti G. Thyroid Function and Obesity. J Clin Res Pediatr En docrinol 2013;5(1):40-44.
  4. Caria S, Murtas S, Loria I, Dioguardi, Secci R, dan Bolasco P. Morbid obesity in a young woman affected by advanced chronic kidney disease: an exceptional case report. Does a high dose of essential amino acids play a key role in therapeutic success? Nutrition & Diabetes 2016;6:1-4.
  5. Abete I, Parra D, Martinez JA. Legume-, fish-, or high-proteinbased hypocaloric diets: effects on weight loss and mitochondrial oxidation in obese men.. J Med Food 2009;12(1):100–108
  6. Dominik H dan Varman TS. A high-protein diet for reducing body fat: mechanisms and possible caveats. Nutrition & Metabolism 2014, 11:53
  7. Mitch WE, Abras E, Walser M. Long-term effects of a new ketoacid-amino acid supplement in patients with chronic renal failure. Kidney Int. 1982;22(1):48-53.
  8. Bergström JAhlberg MAlvestrand AFürst P. Amino acid therapy for patients with chronic renal failure. Infusionsther Klin Ernahr. 1987;14(5):8-11.
  9. Philip et al. The risks and benefits of a low protein—essential amino acid—keto acid diet. Kidney Internasional 1986;26:995–1003
  10. Walser M. Role of branched-chain ketoacids in protein metabolism. Kidney International 1990;38:595–604.
  11. WHO. World Health Organization. Regional Office for the Western Pacific. The Asia-Pacific perspective: Redefining obesity. Sydney : Health Communications Australia, 2000. hal. 17–18
  12. Yumuk et al. European Guidelines for Obesity Management in Adults. Obes Facts 2015;8:402–424.
  13. AAFP. Diagnosis and Management of Obesity. Leawood: American Academy of Family Physician, 2013.
  14. Caroline M et al. Pharmacological Management of Obesity: An Endocrine Society Clinical Practice Guideline J Clin Endocrinol Metab 2015;100: 342–362.
  15. Jensen et al. AHA/ACC/TOS Guideline for Obesity. JACC. 2014;63(25): 2985–3023
  16. Bonazzi et al. Gastric emptying and intragastric balloon in obese patients. European Review for Medical and Pharmacological Sciences 2005; 9(1): 15-21.
  17. Krenitsky J. Adjusted Body Weight, Pro: Evidence to Support the Use of Adjusted Body Weight in Calculating Calorie. Nutr Clin Pract 2005;20: 468
  18. Courtney MP, Diana MT, George L, Blackburn dan Steven BH. Universal equation for estimating ideal body weight and body weight at any BMI. Am J Clin Nutr 2016;103:1197–203.
  19. Ranasinghe et al. Relationship between Body mass index (BMI) and body fat percentage, estimated by bioelectrical impedance, in a group of Sri Lankan adults: a cross sectional study BMC Public Health 2013;13:797
  20. R. Cereijo et al. Thermogenic brown and beige/brite adipogenesis in humans.Annals of Medicine. 2014;13:1–9.
  21. Marisa C, Teresa O, Ruben F. Biochemistry of adipose tissue: an endocrine organ.Arch Med Sci 2013; 9(2):191-200.
  22. Aaron M, Cypess dan C Ronald Kahn. Brown fat as a therapy for obesity and diabetes. Curr Opin Endocrinol Diabetes Obes 2010;17(2):143–149
  23. Carey AL, Steinberg GR, Macaulay SL, et al. Interleukin-6 increases insulin-stimulated glucose disposal in humans and glucose uptake and fatty acid oxidation in vitro via AMP-activated protein kinase. Diabetes 2006; 55: 2688-97.
  24. Galic S, Oakhill JS, Steinberg GR. Adipose tissue as an endocrine organ. Mol Cell Endocrinol 2010; 316: 129-39.
  25. Laclaustra M, Corella D, Ordovas JM. Metabolic syndrome pathophysiology: the role of adipose tissue. Nutr Metab Cardiovasc Dis 2007; 17: 125-39.
  26. Pacifico et al. .Thyroid function in childhood obesity and metabolic comorbidity. Clinica Chimica Acta 2012;413:396–405
  27. Lee SL. Hashimoto’s Disease. National Endocrine and Metabolic Diseases Information Service. NIH, 2013.
  28. Erkan Sarı, Abdulbaki Karaoglu dan Ediz Yeşilkaya. Hashimoto’s Thyroiditis in Children and Adolescents.
  29. Mario Rotondi, Flavia Magri, dan Luca Chiovato. Thyroid and Obesity: Not a One-Way Interaction. J Clin Endocrinol Metab 2011;96(2):344–346.
  30. ADA. Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care 2017;40(1):1–142.
  31. PAPDI. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2010.
  32. FKUI. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Pusat Diabetes dan Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo-Departemen Kesehatan Republik Indonesia-World Health Organization. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2005.
  33. American Diabetes Association Position Statement: Standards of Medical Care. Diabetes care 2017, 2017;40(1):S1–S138
  34. Savage S, Miller LA, Schrier RW. The future of calcium channel blocker therapy in diabetes mellitus. J Cardiovasc Pharmacol 1991;18(1):19-24.
  35. Schmieder RE, Ruilope LM, Barnett AH. Renal protection with angiotensin receptor blockers: where do we stand. J Nephrol. 2011; 24(5):569-80.
  36. David HF, Robert AH,, Subodh V. Statin intolerance. Circulation. 2015;131:389-91.
  37. Marcel H, Muskiet A, Mark M, Smits, Linde M, Morsink dan  Michaela D. The gut–renal axis: do incretin-based agents confer renoprotection in diabetes? Nat. Rev. Nephrol 2014;10:88–103.
  38. Ruggenenti P, Cravedi P, dan Remuzzi G. The RAAS in the pathogenesis and treatment of diabetic nephropathy. Nat. Rev. Nephrol 2010;6:319–330.
  39. Levey AS, Coresh J, Balk E, et al. National Kidney Foundation practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification. Ann Intern Med 2003;139:137–147.
  40. Chase HP et al. Understanding Diabetes. 11th ed. Children’s Diabetes Foundation at Denver. Paros Press: Denver, 2006.
  41. Pan Y, Guo LL, Jin HM. Low-protein diet for diabetic nephropathy: a meta-analysis of randomized controlled trials. Am J Clin Nutr 2008;88:660–666.
  42. Robertson L, Waugh N, Robertson A. Protein restriction for diabetic renal disease. Cochrane Database Syst Rev 2007;4:21–81.
  43. Harris WS, Mozaffarian D, Rimm E, et al. Omega-6 fatty acids and risk for cardiovascular disease: a science advisory from the American Heart Association Nutrition Subcommittee of the Council on Nutrition, Physical Activity, and Metabolism; Council on Cardiovascular Nursing; and Council on Epidemiology and Prevention. Circulation 2009;119:902–907.
  44. Wheeler ML, Dunbar SA, Jaacks LM, et al. Macronutrients, food groups, and eating patterns in the management of diabetes: a systematic review of the literature, 2010. Diabetes Care 2012;35:434–445.
  45. Bloomfield HE, Koeller E,GreerN,MacDonald R, Kane R, Wilt TJ. Effects on health outcomes of a Mediterranean diet with no restriction on fat intake: a systematic review and meta-analysis. Ann Intern Med 2016;165:491–500.
  46. Bosch J, Gerstein HC, Dagenais GR, et al.; ORIGIN Trial Investigators. n-3 fatty acids and cardiovascular outcomes in patients with dysglycemia. N Engl J Med 2012;367:309–318.
  47. Office of Disease Prevention and Health Promotion, U.S. Department of Health and Human Services. Dietary Guidelines for Americans:20152020.8thed.Tersediadarihttps://health.gov/dietaryguidelines/2015/guidelines/. Diakses 17 Agustus 2017.
  48. Evert AB, Boucher JL, Cypress M, et al. Nutrition therapy recommendations for the management of adults with diabetes. Diabetes Care 2014;37(1):120–143.
  49. Mitri J, Pittas AG. Vitamin D and diabetes. Endocrinol Metab Clin North Am 2014;43:205–232.
  50. Mozaffarian D. Dietary and policy priorities for cardiovascular disease, diabetes, and obesity: a comprehensive review. Circulation 2016;133:187–225.
  51. Liu et al. Micronutrients decrease incidence of common infections in type 2 diabetes outpatients. Asia Pac J Clin Nutr 2011;20 (3):375-382.
  52. Chehade JM, Mae S, Arshag DM. The Role of Micronutrients in Managing Diabetes. Diabetes Spectrum 2009; 22(4):214-218.
  53. Jellinger et al. American Association of Clinical Endocrinologist and American College of Endocrinology Guidelines for Management of Dyslipidemia and Prevention of Cardiovascular Disease. Endocr Pract. 2017;23(2):1-87.
  54. Maillot M, Drewnowski A. A conflict between nutritionally adequate diets and meeting the 2010 dietary guidelines for sodium. Am J Prev Med 2012;42:174–179.
  55. Cunningham J, Locatelli F, dan Rodriguez M. Secondary Hyperparathyroidism: Pathogenesis, Disease Progression, and Therapeutic Options. Clin J Am Soc Nephrol 2011;6: 913–921.
  56. Pasini E, Aquilani R, Dioguardi FS. Amino Acids: Chemistry and Metabolism in normal and hypercatabolic states. Am J Cardiol 2004; 93: 3–5.
  57. Pasini E, Aquilani R, Dioguardi FS, D’Antona G, Gheorghiade M, Taegtmeyer H. Hypercatabolic sindrome: molecular basis and effects of nutritional supplements with amino acids. Am J Cardiol 2008; 101: 11–15.
  58. Nisoli E, Cozzi V, Carruba MO. Amino acids and mitochondrial biogenesis. Am J Cardiol 2008; 101: 22–25.
  59. Solerte SB, Gazzaruso C, Bonacasa R, Rondanelli M, Zamboni M, Basso C et al. Nutritional Supplements with oral amino acid mixtures increases whole-body lean mass and insulin sensitivity in elderly subjects with sarcopenia. Am J Cardiol 2008;101: 69–77.
  60. Solerte SB, Fioravanti M, Locatelli E, Bonacasa R, Zamboni M, Basso C et al. Improvement of blood glucose control and insulin sensitivity during long-term (60 weeks) Randomized study with amino acid dietary supplements in elderly subjects with type 2 Diabetes Mellitus. Am J Cardiol 2008; 101: 82–88.
  61. Wolfe R. The underappreciated role of muscle in health and disease. Am J Clin Nutr 2006; 84: 475–482.
  62. Sun X, Feng R, Li Y, Lin S, Zhang W, Li Y et al. Histidine supplementation alleviates inflammation in the adipose tissue of high-fat diet-induced obese rats via the NF-κB- and PPARγ-involved pathways. Br J Nutr 2014; 112: 477–485.
  63. Liu Y, Palanivel R, Rai E, Park M, Gabor TV, Scheid MP et al. Adiponectin stimulates autophagy and reduces oxidative stress to enhance insulin sensitivity during high-fat diet feeding in mice. Diabetes 2015; 64: 36–48.
  64. Laviano A, Aghilone F, Colagiovanni D, Fiandra F, Giambarresi R, Tordiglione P et al. F. Metabolic and clinical effects of the supplementation of a functional mixture of amino acids in cerebral hemorrhage. Neurocrit Care 2011; 14: 44–49.
  65. Dioguardi FS. Clinical uses of amino acids as dietary supplements: pros and cons. J Cachexia Sarcopenia Muscle 2011; 2: 75–80.
  66. Scognamiglio R, Avogaro A, Negut C, Piccolo R, Vigili de Kreutzenberg S, Tiengo A. Early myocardical dysfunction in the diabetic heart: current research and clinical application. Am J Cardiol 2004; 93: 17–20.
  67. Volpi E, Kobayashi H, Sheffield-Moore M, Mittendorfer B, Wolfe RR. Essential amino acids are primarily responsible for the amino acid stimulation of muscle protein anabolism in healthy elderly adults. Am J Clin Nutr 2003; 78: 250–258.
  68. Layman DK. The role of leucine in weight loss diets and glucose homeostasis [review]. J Nutr 2003; 133: 261–267.
  69. Cota D, Proulx K, Smith KA, Kozma SC, Thomas G, Woods SC et al. Hypothalamic mTOR signaling regulates food intake. Science 2006; 312: 927–930.
  70. Dioguardi FS. To give or not to give? Lessons from arginine paradox. J Nutrigenet Nutrigenomics 2011; 4: 90–98.
  71. Kambham N, Markowitz GS, Valeri AM, Lin J, D’Agati VD. Obesity related glomerulopathy: an emerging epidemic. Kidney Int 2001; 59: 1498–1509.
  72. Teplan V, Schuck O, Votruba M, Poledne R, Kazdovà L, Skibovà J et al. Metabolic effects of keto acid—amino acid supplementation in patients with chronic renal insufficiency receiving a low-protein diet and recombinant human erythropoietin—a randomized controlled trial. Wien Klin Wochenschr 2001; 113: 661–669.
  73. Maiuolo J, Oppedisano F, Gratteri S, Muscoli C, Mollace V. Regulation of uric acid metabolism and excretion. Int J Cardiol 2016;15(213):8-14.

Catatan: Referensi lengkap ada pada penulis

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *