Kebutuhan Gizi pada Pasien Tuberkulosis

Tatalaksana Nutrisi pada Tuberkulosis Paru

Hubungan antara TB dan kekurangan gizi telah diketahui sejak lama. TB memperparah keadaan kekurangan gizi, sebaliknya keadaan kekurangan gizi memperlemah imunitas, dan dapat menyebabkan perubahan dari TB laten menjadi TB aktif.3,25 Penderita TB aktif berada dalam status katabolik dan mengalami penurunan berat badan. Beberapa diantaranya menunjukkan tanda-tanda defisiensi vitamin dan mineral pada saat diagnosis ditegakkan.3,26

Penurunan berat badan pada penderita TB dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena menurunnya asupan makanan karena penurunan nafsu makan, rasa mual dan nyeri perut, muntah, diarea, serta perubahan metabolik yang disebabkan oleh penyakitnya. Rendahnya IMT (di bawah 18.5 kg/m2) dan tidak bertambahnya berat badan selama dilakukan terapi pada TB berhubungan dengan peningkata resiko kekambuhan atau kematian, serta menjadi indikasi tingkat keparahan TB, respon terapi juga akan buruk, serta akan memungkinkan timbulnya faktor komorbid lainnya.3

Kebutuhan Makronutrien pada TB Aktif

TB aktif, seperti halnya penyakit infeksi lainnya, membutuhkan energi yang besar. Data menunjukan bahwa pasien TB yang mendapat suplemen makanan selama terapi TB cenderung untuk bertambah berat badannya dibandingkan dengan mereka yang tidak mendapatkan suplemen makanan.3,27

Energi yang dibutuhkan oleh pasien TB bertambah karena proses penyakit pada TB itu sendiri. Rekomendasi saat ini pada pasien TB adalah berdasarkan kebutuhan energi untuk keadaan hiperkatabolik dan pasien-pasien yang kekurangan gizi, yaitu sekitar 35-40 kkal/kgBB dari berat badan ideal. 8,9  

Sebuah studi observasi longitudinal mengenai komposisi tubuh pada pasien TB menyimpulkan bahwa perbaikan klinis atau respon terapi yang baik ternyata tidak menjamin terjadinya restorasi dari protein tubuh, walaupun pada pasien-pasien tersebut telah mengalami kenaikan berat badan. Kebanyakan dari kenaikan berat badan ini hanya terjadi pada kenaikan massa lemak tubuh dan bukan pada pembentukan massa protein tubuh. Di akhir terapi, yaitu pada akhir bulan ke-6, terjadi peningkatan massa lemak tubuh yang cukup substantial, tetapi hal itu tidak terjadi pada peningkatan massa protein tubuh. Penemuan ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya yang melaporkan bahwa pada masa penyembuhan penyakit-penyakit katabolik, seperti misalnya pada kondisi sakit kritis atau infeksi HIV, tubuh akan cenderung untuk melakukan penyimpanan cadangan lemak.3-5

Terjadinya wasting pada tubuh disebabkan karena tidak cukupnya asupan nutrisi dan juga karena adanya proses-proses penyakit seperti infeksi, trauma, kanker, atau inflamasi kronik. Tubuh dapat merespon ketidakcukupan asupan nutrisi dengan respon yang tepat pula seperti melakukan pengurangan pada energy expenditure, menekan metabolisme tubuh,atau melakukan utilisasi pada cadangan lemak tubuh untuk menyokong fungsi organ-organ vital tubuh. Tetapi, pada kondisi inflamasi kronik, terjadi hal sebaliknya pada metabolisme tubuh, energy expenditure justru meningkat sehingga berujung pada kondisi yang patologis, terjadi pula perubahan pada metabolisme protein, dikenal sebagai anabolic block, dimana protein akan dipecah dalam jumlah yang besar dan dipergunakan sebagai energi sehingga berujung pada peningkatan ekskresi nitrogen. Pemecahan protein ini sebenarnya memiliki efek menguntungkan, yaitu menjadi penyedia cepat substrat yang diperlukan untuk sintesis protein pada fase akut, mendukung proliferasi sel-sel imunitas, dan melakukan perbaikan jaringan yang rusak. Tetapi, konsekuensi dari meningkatnya ekskresi sel nitrogen adalah terjadinya deplesi dari total protein tubuh dan ini menyebabkan berkurangnya massa bebas lemak tubuh terutama massa otot.4-5

Asupan protein adalah hal yang sangat penting untuk mencegah terjadinya wasting. Asupan yang dianjurkan adalah sekitar 1.2-1.5 g/kgBB atau sekitar 15% dari total energi harian, dengan angka total kecukupan hariannya sekitar 75-100 g/hari.3,8,9

Kebutuhan Mikronutrien pada TB Aktif

Pada pasien TB, terjadi penurunan konsentrasi mikronutrien seperti vitamin A, E, dan D, kemudian pada berbagai mineral seperti besi, zink, dan selenium. Walau penurunan ini biasanya akan kembali normal setelah pemberian terapi TB selama 2 bulan yang didukung oleh asupan nutrisi yang adekuat. Penurunan konsentrasi ini hingga saat ini belum jelas penyebabnya, apakah disebabkan adanya penurunan pada asupan, karena adanya proses metabolik yang berubah, atau karena penyakit TB itu sendiri.3

Suplemen multivitamin dan mineral dianjurkan pemberiannya pada pasien-pasien TB karena dikhawatirkan asupan diet tidak mencukupi kebutuhan harian untuk vitamin dan mineral oleh karena adanya penurunan nafsu makan karena proses anoreksia juga dapat terjadi pada Infeksi TB.3,8

Anoreksia dapat terjadi pada pasien dengan infeksi dikarenakan beberapa hal antara lain asam nukleat mikrobial dan glikoprotein viral mensupresi nafsu makan, beberapa sitokin proinflamasi seperti TNFα, IL-1, IL-2, IL-6, IL-8 dan interferon juga menghambat nafsu makan, produk mikrobial dan sitokin juga meningkatkan ekspresi leptin pada jaringan adiposa sehingga menekan nafsu makan, sitokin juga memodulasi motilitas lambung dan pengosongan lambung sehingga dapat menghambat asupan makan dimana prostaglandin terutama PGE2 merupakan mediator sekunder fungsi gaster.25

Hubungan antara berbagai mikronutrien yang diberikan sebagai suplementasi pada pasien-pasien TB akhir-akhir ini banyak diteliti walau hasilnya masih bervariatif, namun sebagian besar menunjukkan hasil yang baik, walaupun belum ada bukti yang benar-benar mendukung bahwa suplementasi mikronutrien dapat menjadi terapi ajuvan pada tatalaksana TB.3

Hubungan antara TB dan defisiensi vitamin D telah menjadi sebuah postulat, sehingga minyak hati ikan dan sinar matahari seringkali menjadi terapi untuk mengobati TB sebelum pemberian terapi antibiotik. Rendahnya level serum vitamin D sering dihubungan dengan resiko meningkatnya TB aktif. Vitamin D juga membantu modulasi sel-sel imunitas. Vitamin D diketahui memiliki peranan penting dalam aktivasi makrofag dalam menghambat pertumbuhan kuman TB, dan defisiensi vitamin D memiliki implikasi sebagai faktor risiko terjadinya tuberkulosis (TB)Telah diketahui pula bahwa ditemukan produksi yang massif dari metabolit vitamin D yang aktif pada lesi TB di paru dan jaringan lain yang terinfeksi oleh kuman TB. Hal ini dianggap sebagai mekanisme pertahanan tubuh untuk untuk melawan kuman TB. Vitamin A, C, D, E, B6, asam folat, zink, tembaga, selenium, dan besi, memegang peranan penting dalam imunitas selular dan alamiah. Konsentrasi dari mikronutrien ini harus diperhitungkan dalam proses terapi penderita TB.3

Tabel Suplementasi Mikronutrien pada Pasien TB

MikronutrienDasar Pemikiran Suplementasi
Vitamin AMenghambat replikasi bakteri virulen, modulasi proliferasi limfosit, menghalangi penempelan bakteri patogen ke epitel saluran pernafasan
Vitamin BMencegah timbulnya efek samping neurologis karena OAT pada pasien-pasien TB
Vitamin CKonsentrasi serum vitamin C rendah pada penderita TB
Vitamin EPemberian Vitamin E (140 mg alpha-tocopherol) dapat mengurangi stress oksidatif dan meningkatkan kapasitas total antioksidan pasien pasien TB yang juga menjalani kemoterapi.
Vitamin DPemberian vitamin D (1, 25 (OH)2D) dalam bentuk dosis tunggal sebesar 2.5 mg meningkatkan aktivitas antimikroba pada manusia.
ZinkSuplementasi zink meningkatkan imunitas. Zink juga membantu metabolisme vitamin A yang sangat dibutuhkan oleh pasien-pasien TB. Zink berperan dalam sintesis retinal binding protein dan menurunkan konsentrasi retinal plasma. Zink juga menghalangi radikal bebas merusak membran epitel pada proses inflamasi.
SeleniumPemberian selenium (200 ug) dapat mengurangi stress oksidatif dan meningkatkan kapasitas total antioksidan pasien pasien TB yang juga menjalani kemoterapi.

Sumber: referensi no.3,8,9,29

Pada saat diagnosis ditegakkan, dilakukan skrining dan asesmen nutrisi dan penentuan status nutrisi dan diagnosis gizi klinis agar dapat diberikan intervensi nutrisi serta konseling. Pada saat kunjungan ulang, dilakukan kembali pengukuran antropometrik untuk menilai perkembangan berat badan, lingkaran lengan atas (LILA), status IMT, untuk kemudian dilakukan kembali penentuan status nutrisi dan dinilai kembali riwayat asupan makan dan resiko-resiko penyulit untuk asupan makannya, faktor-faktor keamanan pangan, dan analisis biokimia. Bila perlu diberikan makanan yang telah difortifikasi atau formula komersial untuk mencukupi kebutuhan nutrisinya Tak hanya itu,  pada pasien-pasien malnutrisi ringan hingga berat, harus dilakukan peninjauan kembali atas kemungkinan respon pengobatan TB yang tidak kuat atau terjadinya resistensi pada obat anti tuberkulosis (OAT) yang diberikan,  dan adanya faktor-faktor komorbid seperti HIV, diabetes mellitus, alkohol, atau drug abuse. Pada pasien-pasien TB, Penurunan berat badan atau gagalnya mempertahankan berat badan optimal harus segera mendapat intervensi. Terutama pada pasien-pasien MDR-TB dimana pengobatannya membutuhkan jangka waktu yang lebih lama dan bersifat paliatif.30-34

Tujuan dari konseling nutrisi adalah untuk memperbaiki asupan makanan selama masa terapi dan penyembuhan, mengkompensasi pengeluaran energi yang tinggi pada infeksi TB, meningkatkan berat badan pada penderita TB yang memiliki status nutrisi yang buruk, menyokong respon sistem imun, memperbaiki kerusakan jaringan, meminimalisir efek samping dari OAT seperti mual, muntah, anoreksia, diare, dan perubahan rasa kecap.3

Anemia pada TB

Keadaan anemia dapat meningkatkan mortalitas pasien TB. Anemia merupakan komplikasi tersering dari tuberkulosis paru dan prevalensinya berkisar 16-94% di beberapa penelitian. Anemia merupakan suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah atau kapasitas pembawa oksigen lebih rendah daripada kebutuhan fisiologis tubuh. Anemia dapat juga diartikan kadar hemoglobin kurang dari 130 g/l pada laki-laki, kurang dari 120 g/l pada wanita tidak hamil dan kurang dari 110 g/l pada wanita hamil.6,35,36

Anemia merupakan indikator dari nutrisi yang buruk dan kesehatan yang buruk. Anemia biasanya berhubungan dengan supresi sumsum tulang, defisiensi nutrisi, sindrom malabsorbsi dan kegagalan pemanfaatan zat besi.  Sindrom malabsorbsi dan defisiensi nutrisi dapat memperparah anemia.6,35,38,39

Pada TB dapat terjadi anemia defisiensi besi (anemia mikrositik hipokromik) dan anemia akibat inflamasi (anemia normositik normokromik). Anemia dengan gambaran normositik normokromik merupakan jenis anemia yang paling banyak ditemukan pada tuberkulosis.6,35,37,39

Anemia pada TB yang diakibatkan supresi eritropoesis oleh mediator inflamasi merupakan patogenesis tersering dari anemia pada TB. Kondisi ini terjadi karena adanya disregulasi sistem imun terkait dengan respon sistemik terhadap kondisi penyakit yang diderita.6,35,40,41 Peningkatan sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-6, IL-1β serta Interferon-γ berpengaruh terhadap penurunan eritroid progenitor.35,40-42 Penurunan eritroid progenitor ini menghambat diferensiasi dan proliferasi eritrosit secara langsung.35,42 Anemia yang disebabkan oleh infeksi kronik seperti TB mempunyai karakteristik yaitu  terganggunya homeostasis zat besi dengan adanya peningkatan ambilan  dan retensi zat besi dalam sel RES. Zat besi merupakan faktor pertumbuhan terpenting untuk Mycobacterium tuberculosis. Retensi besi pada sistem retikuloendotelial merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh. Terganggunya hemostatis zat besi menyebabkan terjadinya pengalihan zat besi dari sirkulasi ke tempat penyimpanan sistem retikuloendotelial dan diikuti terbatasnya persediaan zat besi untuk sel eritroid progenitor. Hal ini menyebabkan terbatasnya proses pembentukan eritrosit.35,42

Interaksi Obat Anti Tuberkulosis dan Makanan

Isoniazid (INH) adalah obat yang paling sering dipakai dalam tindakan preventif maupun terapi TB. Obat ini merupakan antagonis vitamin B6 (piridoksin). Sudah merupakan standar untuk terapi TB pada dewasa bahwa pemberian obat ini harus diikuti dengan pemberian 25 mg vitamin B6 setiap hari dalam bentuk suplemen. Vitamin B6 bersifat larut air. Tubuh memerlukan vitamin ini untuk membuat dan mengutilisasi protein dan glikogen. Vitamin ini juga membantu pembentukan hemoglobin. Angka kecukupan vitamin B6 untuk dewasa pria dan perempuan dalam rentang usia 19–50 adalah 1,3 mg/hari. Untuk meminum obat ini sebaiknya satu jam sebelum makan atau dua jam setelah makan. Boleh dikonsumsi dengan kudapan jika perlu. Bila pasien juga perlu mengkonsumsi antasida, maka INH dikonsumsi satu jam sebelum atau dua jam sesudah mengkonsumsi antasida.  OAT lainnya yang tata cara untuk mengkonsumsinya hampir sama dengan INH adalah Rifampin. Untuk meminum obat ini sebaiknya satu jam sebelum makan atau dua jam setelah makan. Boleh dikonsumsi dengan kudapan jika perlu. Bila pasien juga perlu mengkonsumsi antasida, maka rifampin dikonsumsi satu jam sebelum atau dua jam sesudah mengkonsumsi antasida.43-44

Etambutol, Pirazinamid (PZA), dapat Etionamide dapat dikonsumsi bersamaan dengan makanan. Moksifloksasin/Levofloksasin dikonsumsi dua jam sebelum makan, obat-obat lambung, susu, atau suplemen makanan. Amikasin, dapat dikonsumsi saat lambung kosong ataupun penuh. Amikasin dan Streptomisin dapat mempengaruhi indera pengecap sehingga mempengaruhi rasa makanan. Etambutol menyebabkan peningkatan eksresi zink pada ginjal dan menyebabkan peningkatan absorpsi ginjal karena adanya penurunan konsentrasi zink pada tubuh. Pada sebuah studi, pemberian Kapreomisin dapat menyebabkan hipomagnesemia, hipokalemia, hipokalsemia, dan hipokloremik alkalosis metabolik, sehingga dianjurkan dilakukan pemeriksaan serum elektrolit, magnesium, dan kalsium pada pasien-pasien yang diterapi dengan Kapreomisin. Hal ini dikarenakan terjadinya eksresi magnesium dan kemungkinan kerusakan tubular pada ginjal dengan pemberian obat ini. PAS dapat diminum segera sesudah makan. Sikloserine butuh suplementasi vitamin B6 sebanyak 100 mg/hari dan dapat dikonsumsi bersamaan dengan makanan. Hindari makanan dan minuman yang mengandung tyramine, jangan mengkonsumsi obat ini bersamaan dengan obat yang menginduksi pelepasan serotonin atau yang menghambat ambilannya. Asupan air yang cukup dan menghindari minuman beralkohol juga sangat penting untuk menghindari efek samping dan interaksi obat-makanan pada terapi TB.44,45,46

Referensi:

  1.  Kementrian Kesehatan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. 2014
  2.  PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2006.
  3. WHO. Guideline: Nutritional care and support for patients with tuberculosis. Geneva: World Health Organization; 2013.
  4.  D. C. Macallan et al. Whole body protein metabolism in human pulmonary tuberculosis and undernutrition: evidence for anabolic block in tuberculosis Clinical Science. 1998;94(32):1–33
  5. Schwenk A et al. Nutrient partitioning during treatment of tuberculosis: gain in body fat mass           but not in protein mass.  Am J Clin Nutr. 2004;79:1006–12.
  6. Lee SW, Kang YA, Yoon YS, et al. The Prevalence and Evolution of Anemia Associated with Tuberculosis. J Korean Med Sci. 2006;21(6):1028–1032.
  7. Pinheria VG et al. Intestinal Permeability and Malabsorption of Rifampin and Isoniazid in Active Pulmonary Tuberculosis. Braz J Infect Dis. 2006;10(6):374–379
  8. Nutrition Information Centre of the University of Stellenbosch. Tuberculosis and Nutrition [Internet]. 2009 [Diakses 28 Agustus 2016]. Tersedia dari: http://www.sun.ac.za
  9. United States Agency for International Development (USAID). Nutrition and Tuberculosis: A review of the literature and considerations for TB control programs [Internet]. 2010 [Diakses 28 Agustus 2016]. Tersedia dari: http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadl992.pdf
  10. Price SA, Wilson LM. Patophysiology. Clinical concepts of disease processes. 4th ed. Missouri: Mosby; 1992:646–50
  11. Basmajian JV, Slonecker CE. Grant’s Method of Anatomy 11th ed. Canada: Williams & Wilkins;1993
  12. Sherwood L. Human Physiology: from cells to systems.an Phy. 7th ed. Australia: Brooks/Cole, Cengage Learning; 2010.
  13. Cancer Information and Treatment. Lung Anatomy [Internet]. 2016 [Diakses 28 Agustus 2016]. Tersedia dari:http://www.aboutcancer.com
  14. Knechel N. Tuberculosis: Pathophysiology, Clinical Features, and Diagnosis. CriticalCareNurse;2009;29(2).
  15. Zumla A. Current Concepts Tuberculosis. N Engl J Med. 2013;368:745–55
  16. Alves CN, Booty MG. In search of a new paradigm for protective immunity to TB. Microbiology.2014;12:289–299.
  17. Porcel JM. Tuberculous pleural effusion. Lung. 2009;187:263–70.
  18. Light RW. Pleural Diseases, 5th ed. Lippincott, Williams and Wilkins, Baltimore, MD, 2007
  19.  Escudero BC, Garcia CM, Cuesta CB et al. Cytologic and bacteriologic analysis of fluid and pleural biopsy specimens with Cope’s needle. Study of 414 patients. Arch. Intern. Med. 1990; 150: 1190–4.
  20. Light RW. Update on tuberculous pleural effusion. Respirology. 2010(15): 451–458
  21.  Baumann MH, Nolan R, Petrini M et al. Pleural tuberculosis in the United States: incidence and drug resistance. Chest. 2007;131:1125–32.
  22.  Valdes L, Alvarez D, San Jose E et al. Tuberculous pleurisy: a study of 254 patients. Arch. Intern. Med. 1998;158:2017–21
  23. Kim HJ, Lee HJ, Kwon SY et al. The prevalence of pulmonary parenchymal tuberculosis in patients with tuberculous pleuritis. Chest. 2006; 129:1253–8.
  24. Clinical Gate. Pleural Disease [Internet]. 2015 [Diakses 29 Agustus 2016]. Tersedia dari: http://clinicalgate.com/pleural-diseases/
  25. Cegielski JP, McMurray DN. The relationship between malnutrition and tuberculosis: evidence from studies in humans and experimental animals. Int. J. Tuberc. Lung Dis. 2004;8:286–98
  26. Zachariah R, Spielmann MP, Harries AD, Salanipont FM. Moderate to severe malnutrition in patients with tuberculosis is a risk factor associated with early death. Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 2002;96:291–4.
  27. Sinclair D, Abba K, Grobler L, Sudarsanam TD. Nutritional supplements for people being treated for active tuberculosis. Cochrane Database Syst. Rev. 2011;(11):CD006086. DOI: 10.1002/14651858.CD006086.pub3.
  28. Kanra G, Özen H, Kara A. Infection and anorexia. The Turkish Journal of Pediatrics 2006;48: 279–87. 
  29. Gupta KB, Gupta R, Atreja A, Verma M, Vishvkarma S. Tuberculosis and nutrition. Lung India : Official Organ of Indian Chest Society. 2009;26(1):9–16
  30.  Classification of malnutrition in adults: body mass index, In: Management of severe malnutrition: a manual for physicians and other health workers. Geneva: World Health Organization; 1999:37–38.
  31. WHO. Growth reference data for 5–19 years [Internet]. 2009 [Diakses 29 Agustus 2016]. Tersedia dari:  http://www.who.int
  32. World Health Organization, United Nations Children’s Fund. WHO child growth standards and the identification of severe acute malnutrition in infants and children. A joint statement by the World Health Organization and the United Nations Children’s Fund. Geneva: World Health Organization and United Nations Children’s Fund [Internet]. 2009 [Diakses 29 Agustus 2016]. Tersedia dari: http://www.who.int
  33. World Health Organization. The WHO child growth standards [Internet]. 2013. [Diakses 29 Agustus 2016]. Tersedia dari: http://www.who.int
  34. Physical status: the use and interpretation of anthropometry. Report of a WHO Expert Committee. Geneva: World Health Organization [Internet] 1995. [Diakses 29 Agustus 2016]. Tersedia dari: http://www.who.int
  35. Nasution SD. Malnutrisi dan Anemia pada Penderita Tuberkulosis Paru. Majority.2015;4(8):29–33
  36. Naini RA, Moghtaderi A, Metanat M, Mohammadi M, Zabetian M. Factors associated with mortality in tuberculosis patients. J Res Med Sci. 2013;52–5. 23
  37. Monjur F, Rizwan F. A Cross-sectional Study of Morphological Types of Anemia in Pulmonary Tuberculosis Patient and Associated Risk Indicators in a Selected Hospital of Dhaka City , Bangladesh. Int J Chem Environ Biol Sci. 2014;2(4):215–9.
  38. WHO. Haemoglobin Concentrations for The Diagnosis of Anemia and Assesment of Severity. Geneva: WHO Press. 2011;1– 5.
  39. Turgut M, Uzun O, Ý EKÝTL, Özer O. Pulmonary Tuberculosis Associated with Autoimmune Hemolytic Anemia : An Unusual Presentation. Turk J Haematologi.2002;19(4):477–80.
  40. Ahmad S. Pathogenesis , Immunology, and Diagnosis of Latent Mycobacterium tuberculosis Infection. Kuwait Univ. 2011;1–17.
  41. Kaufmann SHED. A Inflammation in Tuberculosis: Interactions, Imbalances and Interventions. Current Opinion in Immunology. Elsevier. 2013;25:441–9.
  42. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of Chronic Disease. N Engl J Med. 2005;352(10):1011–23.
  43. Dietitiens of Canada. Foods Sources of Vitamin B6 (pyridoxine) [Internet]. 2016 [Diakses 29 Agustus 2016]. Tersedia dari: http://www.dietitians.ca
  44. Heartland TBC Center Canada. Food and Drug Interactions [Internet]. 2015 [Diakses 29 Agustus 2016]. Tersedia dari: http://www.heartlandntbc.org
  45. Darr M, Hamburger S, Ellerbeck E. Acid-base and electrolyte abnormalities due to capreomycin. South Med J. 1982 May;75(5):627–8.
  46. King AB, Schwartz R. Effects of the antituberculous drug ethambutol on zinc absorption, turnover and distribution in rats fed diet marginal and adequate in zinc. J Nutr. 1987;117(4):704–8.
  47. Uria GA. Diagnostic and Prognostic Value of Serum Albumin for Tuberculosis in HIV Infected Patients Eligible for Antiretroviral Therapy: Data from an HIV Cohort Study in India.BioImpacts, 2013;3(3):123–128.
  48. Don BR, Kaysen G. Serum albumin: relationship to inflammation and nutrition. Semin Dial. 2004;17(6):432-7.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *