Tatalaksana nutrisi perioperatif telah menjadi sangat penting sejak tahun 1936 ketika Studley mengemukakan hubungan antara penurunan berat badan pra bedah dengan kejadian mortalitas paska bedah. Pada pasien-pasien bedah yang mengalami malnutrisi, terapi nutrisi dengan nutrisi enteral harus dimulai sekurang-kurangnya 7-10 hari sebelum hari pembedahan. Pada pasien-pasien yang diprediksi belum dapat menerima asupan oral dalam lima hari paska pembedahan maka harus menerima nutrisi secara enteral maupun parenteral tergantung dari kemampuan saluran cernanya. Dibandingkan dengan nutrisi parenteral, nutrisi enteral memiliki hubungan dengan timbulnya komplikasi yang lebih sedikit, masa rawat yang lebih pendek, serta lebih hemat biaya.
Aturan yang telah lama berkembang untuk memuasakan pasien selepas tengah malam ketika pembedahan akan dimulai keesokan harinya, akhir-akhir ini dipertanyakan. Dari studi Brady dan kawan-kawan disimpulkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa puasa cairan sejak tengah malam dapat menurunkan risiko aspirasi perioperatif atau morbiditas lainnya yang berhubungan. Bukti lainnya yang muncul justru mengemukakan sebaliknya, puasa tengah malam menjelang prosedur bedah justru dapat berbahaya karena dapat menimbulkan resistensi insulin yang timbul karena stres pembedahan, imunosupresi, dan peningkatan ketidaknyamanan pada pasien. Loading karbohidrat preoperatif dengan minuman tinggi kabohidrat tiga jam sebelum tindakan pembedahan dimulai telah menunjukkan penghambatan efek samping dari puasa, khususnya pada pasien-pasien diabetes. Dalam perubahan metabolisme yang terjadi karena pembedahan sebagaimana sudah dibahas dalam poin sebelumnya, diketahui bahwa keadaan kelaparan akut dapat menyebabkan terjadinya deplesi glikogen dalam beberapa jam dan tubuh memilih jalur glukoneogenesis untuk menghasilkan glukosa melalui pemecahan protein otot dan protein viseral lainnya. Oleh karena itu nutrisi perioperatif bertujuan untuk: (1) meminimalisir terjadinya keseimbangan protein negatif dengan menghindari terjadinya kelaparan pada pasien-pasien bedah; (2) menjaga otot, sistem imum, dan fungsi kognitif; (3) mempercepat proses penyembuhan paska bedah dan mengembalikan fungsi-fungsi jaringan secepatnya ke keadaan semula (3).
Skrining Pasien Perioperatif
Penentuan seberapa besarnya pasien beresiko untuk terjadinya komplikasi paska bedah dan seberapa besarnya malnutrisi yang terjadi sebelum pembedahan sangat penting ditentukan oleh klinisi agar dapat memberikan terapi nutrisi perioperatif dengan tepat. Malnutrisi sering terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit seperti kanker atau kerusakan organ kronik. Selama bertahun-tahun albumin adalah indikator malnutrisi yang mempengaruhi keadaan paska bedah. Namun demikian, tidak ada serum ataupun protein urin yang dapat dikatakan spesifik ataupun dapat dijadikan indikator sensitif untuk menyatakan suatu keadaan malnutrisi, karena paramater laboratorium ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor presipitasi katabolisme dan status cairan pasien. The European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) merekomendasikan penggunaan Nutrition Risk Screening (NRS) 2002, bersamaan dengan Subjective Global Assesment (SGA), serta kadar serum albumin (<30 g/L) sebagai evaluasi dari keadaan malnutrisi. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Jie dan kawan-kawan, pasien-pasien dengan skor NRS-2002 sebesar 5 atau lebih adalah yang paling banyak menerima manfaat dari dukungan nutrisi perioperatif. Hal lain yang menarik dari skrining pre-operatif adalah bahwa malnutrisi tetap dapat terjadi pada pasien-pasien dengan obesitas yang memiliki massa otot yang rendah, bentuk obesitas seperti ini didefiniskan sebagai obesitas sarkopenik yang sering terlewat untuk dideteksi pada kebanyakan kasus.
Dari berbagai studi dapat disimpulkan bahwa pemilihan pasien untuk pemberian terapi nutrisi perioperatif diutamakan untuk ditujukan pada pasien-pasien dengan NRS ≥3 atau setidaknya satu kriteria ini dipenuhi, adanya penurunan berat badan 10-15% dalam 6 bulan atau BMI < 18,5 kg/m2, nilai SGA dalam kategori C, atau serum albumin<30 g/L, untuk pasien-pasien yang masuk dalam kategori ini, tindakan bedah mayor harus ditunda hingga status nutrisi diperbaiki.
Waktu dan Jalur Pemberian Nutrisi
Pemberian dukungan nutrisi melalui enteral secara konvensional direkomendasikan sejak 10-14 hari sebelum hari pembedahan untuk pasien-pasien yang memiliki risiko nutrisi yang tinggi agar dapat memperbaiki status nutrisinya. Imunonutrisi diberikan 5-7 hari sebelum pembedahan kepada pasien-pasien kanker agar dapat meningkatkan sistem imun. Saat ini, sesuai rekomendasi ERAS, puasa preoperatif dilakukan selama 2 jam untuk cairan dan 6 jam untuk makanan padat. Paska bedah, pemberian makanan melalui oral atau pipa makan harus dimulai dalam 24 jam paska bedah. Namun demikian, waktu optimal untuk memulai terapi nutrisi paska bedah sangat dipengaruhi oleh kondisi klinis pasien, morbiditas pasien, dan status metabolik.
Pemberian nutrisi enteral memiliki beberapa manfaat antara lain mengurangi risiko infeksi dan komplikasi paska operasi, serta memperbaiki perbaikan jaringan. Nutrisi enteral telah terbukti untuk mempertahankan integritas mukosa dan mencegah atrofi villi-villi usus. Nutrisi enteral terindikasi jika jalur oral tidak dapat mencukupi lebih dari 50% kebutuhan energinya selama lebih dari 7 hari.(ESPEN) Kontraindikasi dari pemberian nutrisi enteral adalah adanya obtruksi usus, malabsorpsi, fistula multipel dengan produksi tinggi, iskemia intestinal, syok berat dengan gangguan perfusi splanknik, dan sepsis fulminan. Komplikasi dari nutrisi enteral dibagi atas komplikasi gastrointestinal, mekanikal, dan metabolik. Komplikasi mekanikal meliputi aspirasi, malposisi pipa, dan penyumbatan pipa. Komplikasi gastrointestinal meliputi mual dan muntah, diare dan konstipasi, malabsorpsi/maldigesti. Komplikasi metabolik meliputi terjadinya hiperglikemia atau hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, cepat kenyang, dehidrasi, dan sindrom refeeding. Pasien-pasien malnutrisi, seyogyanya menerima nutrisi preoperatif setidaknya selama 7-10 hari sebelum tindakan bedah. Jika usus berfungsi dengan baik, rute enteral lebih dipilih daripada jalur parenteral. Namun demikian, pemberian enteral sebagai hal yang rutin untuk nutrisi preoperatif tidak bermanfaat terkecuali pasien teridentifikasi memiliki masalah defisiensi nutrisi. Paska bedah, rata-rata usus kembali berfungsi dalam 6-8 jam, walaupun belum terjadi peristaltik diasumsikan bahwa kemampuan usus untuk menyerap sudah ada dalam tingkat menengah. Oleh karena itu, pemberian nutrisi enteral paska bedah tidak hanya aman tetapi juga bermanfaat, meskipun pemikiran ke arah ileus dan kebocoran usus harus tetap menjadi pertimbangan, dari data-data yang ada dikatakan bahwa belum ada bukti bahwa pemberian nutrisi enteral menjadi penyebab hal ini terjadi. Efek samping yang terjadi biasanya minimal, yaitu berupa diare dan muntah.
Strategi untuk mengurangi dismotilitas gastrointestinal paska bedah dan meningkatkan tingkat kesuksesan dari nutrisi enteral antara lain: (1) Memperbaiki ketidakseimbangan pH; (2) memperbaiki abnormalitas elektrolit (khususnya magnesium dan kalium); (3) membatasi pemberian cairan berlebihan; (4) meminimalisir opiat eksogen; (5) mengoptimalisasi kontrol glikemik untuk mencegah hiperglikemi yang menginduksi perlambatan pengosongan lambung; (6) pemberian nutrisi enteral dini; (7) pemberian medikasi prokinetik untuk memperbaiki toleransi asupan.
Nutrisi parenteral diketahui dapat mempengaruhi keluaran pada pasien-pasien dengan kondisi malnutrisi berat. Nutrisi ini dapat dengan cepat memperbaiki keseimbangan nitrogen, yang dengan cepat memperbaiki limfosit dan mempercepat penyembuhan luka. Dengan penambahan vitamin dan trace elements, penurunan dari komplikasi nutrisi parenteral (infeksi dan non infeksi) telah dilaporkan. Selain memiliki manfaat, terdapat risiko dari penggunaan nutrisi parenteral total. Komplikasi nutrisi parenteral yang berhubungan dengan insersinya misalkan adanya pneumotoraks, hemotoraks, emboli udara, malposisi kateter, perforasi kardiak, dan trauma pada pleksus brakialis. Komplikasi yang berhubungan dengan kateter lainnya adalah terjadinya infeksi pada daerah pemasangan kateter. Komplikasi metabolik yang dapat terjadi adalah hiperglikemi ataupun hipoglikemi, ketoasidosis, azotemia dan keadaan hiperosmolar, ketidakseimbagan elektrolit, hipertrigliseridemia, metabolik asidosis, disfungsi hepatik, kelebihan cairan, dan koagulopati. Pemberian nutrisi parenteral dapat dimulai sejak 7-10 hari preoperatif pada pasien-pasien malnutrisi. Pemberian nutrisi parenteral paska bedah ditujukan pada pasien-pasien dengan status nutrisi baik yang belum dapat menerima asupan makan melalui oral hingga hari 7-10 paska bedah dan pada hari ke-5 hingga 7 paska bedah pada pasien-pasien yang sebelumnya sudah mengalami malnutrisi. Pemberian nutrisi parenteral adalah atas indikasi dan bukan hal rutin yang harus dilakukan pada terapi nutrisi paska bedah.
2.4.3 Kebutuhan Makronutrien dan Mikronutrien Perioperatif
Kebutuhan kalori berdasarkan rekomendasi ESPEN dan berbagai studi pada pasien-pasien perioperatif dapat diestimasi berkisar antara 25-35 kkal/kgBB dan protein di 1,5 g/kgBB. Dari sumber lain merekomendasikan pemberian karbohidrat sebesar 3 hingga 6 mg/kg/menit (secara kasar di kisaran 200-300 gram/hari), dan untuk protein di 1,25-2,0 g/kg/hari, dan untuk lemak sebesar 10-25% dari total kalori. Gambaran ini sangat bervariasi dan bergantung pada kondisi pasien yang sangat spesifik. Pada intinya terapi nutrisi yang diberikan bertujuan untuk meminimalisir efek katabolik yang terjadi karena stres dan trauma bedah dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya overfeeding dan masalah-masalah yang terkait. Kebutuhan dihitung dengan ekuasi Harris-Benedict untuk mendapatkan besaran kebutuhan basal yang kemudian dilakukan faktor stress 1,5-1,75 kali dari nilai yang didapat.
Nutrisi paska bedah harus mengandung cukup protein untuk meminimalisir kehilangan massa otot dan mendukung penyembuhan jaringan dan juga harus mengandung cukup kalori agar dapat mencegah terjadinya ketoasidosis. Defisiensi mikronutrien dapat disuplementasi khususnya bagi pasien-pasien yang menerima nutrisi artifisial.
Tabel Vitamin dan Trace Element harian Pada Pasien dengan Nutrisi Artifisial
| Vitamin/Trace Element | Kebutuhan | 
| Tiamin (B1) (mg) | 6 | 
| Riboflavin (B2) (mg) | 3,6 | 
| Niasin (B3) (mg) | 40 | 
| Asam Folat (µg) | 600 | 
| Asam pantotenat (mg) | 15 | 
| Piridoksin (mg) | 6 | 
| Sianokobalamin (B12) (µg) | 5 | 
| Biotin (µg) | 60 | 
| Asam askorbat (C) (mg) | 200 | 
| Vitamin A (IU) | 3300 | 
| Vitamin D (IU) | 200 | 
| Vitamin E (IU) | 10 | 
| Vitamin K (µg) | 1150 | 
| Kromium (µg) | 10-15 | 
| Copper (mg) | 0,3-0,5 | 
| Besi (mg) | 1,0-1,2 | 
| Manganese (mg) | 0,2-0,3 | 
| Selenium (µg) | 20-60 | 
| Seng (mg) | 2,5-5 | 
| Molibdenum (µg) | 20 | 
| Iodin (µg) | 100 | 
| Fluoride (mg) | 1 | 
Imunonutrisi pada Perioperatif
Imunonutrisi adalah sebuah konsep untuk menambah manfaat nutrisi enteral dengan penambahan arginin, omega 3 PUFA, glutamin, atau asam ribonukleat untuk meningkatkan imunitas. Sebuah studi yang dilakukan oleh Zhang dan kawan-kawan dikatakan bahwa pemberian imunonutrisi dapat mengurangi infeksi paska bedah dan menurunkan lama rawat ketika diberikan paska operatif.
Glutamin adalah asam amino yang sangat banyak ditemukan di intra dan ekstrasel, fungsinya penting untuk transport nitrogen, keseimbangan asam basa, dan pengantaran energi unuk sel yang sedang bertumbuh cepat. Fungsi usus halus terjaga dan peningkatan limfosit T meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi glutamin.(1). Pada keadaan seperti pembedahan, kebutuhan tubuh akan asam amino ini lebih banyak daripada kemampuan tubuh untuk menghasilkannya, sehingga saat ini banyak penelitian tentang glutamin yang dihubungkan dengan keluaran klinis paska bedah. Arginin yang merupakan prekursor oksida nitrit, mempengaruhi stabilitas fungsi kardiovaskular paska operatif dan karenanya memiliki peranan dalam melakukan regulasi jantung dan fungsi vaskular. Sebagaimana halnya glutamin, arginin meningkatkan sistem imunitas tubuh melalui stimulasi fungsi limfosit T dan memperkuat aktifitas agen kemoterapi pada pasien-pasien kanker yang membutuhkan terapi pembedahan dan terapi ajuvan.
Carbohydrate Loading (CHO-Loading) Praoperatif
Protokol ERAS merekomendasikan penggunaan minuman karbohidrat yang juga disebut sebagai “CHO-loading”. Di malam hari sebelum operasi dilaksanakan, diberikan 800 ml minuman tinggi karbohidrat iso-osmolar yang mengandung 100 gram karbohidrat atau setara dengan 400 kkal karbohidrat (sekitar 12 jam sebelum tindakan pembedahan (atau malam sebelumnya) kemudian dosis kedua dilanjutkan dengan 400 ml minuman yang mengandung 50 gram karbohidrat pada 2-3 jam sebelum tindakan pembedahan (atau di pagi hari menjelang operasi). Rekomendasi ESPEN untuk pasien-pasien yang tidak mampu menerima asupan enteral adalah pemberian 200 gram glukosa preoperatif secara intravena. Pemberian infus parenteral 1,5-2 g/kg glukosa dan 1 g/kg asam amino secara preoperatif (dalam 16-20 jam) dilaporkan memberi efek adaptasi stres yang baik paska bedah.
-Referensi lengkap ada pada penulis