Nutrisi memiliki implikasi yang besar pada pasien-pasien dengan penyakit paru-paru pada semua komponen sistem pernapasan. Nutrisi mempengaruhi ventilasi, otot-otot pernapasan, dan kondisi parenkim paru. Jumlah dan komposisi dari asupan energi akan mempengaruhi laju metabolik, konsumsi O2, dan produksi CO2. Hipofosfatemia juga dapat memiliki efek terhadap ventilasi. Sistem imunitas dari sistem pernapasan juga dipengaruhi oleh status nutrisi pasien. Ventilasi secara erat berhubungan dengan laju metabolik. Ketika laju metabolik bertambah, sama halnya seperti pada keadaan berolahraga, tingkat oksigenasi jaringan menurun (hipoksia), sehingga terjadi peningkatan ventilasi. Tetapi, pada pasien-pasien yang tidak mendapat cukup energi, respon tubuh untuk mengatasi hipoksia dengan meningkatkan ventilasi menjadi menurun. Keadaan ini dapat menjadi normal kembali apabila pasien mendapat nutrisi yang adekuat. Oleh karena itu, pada pasien-pasien dengan penyakit paru, penting sekali untuk menghindari kondisi starvasi atau semi-starvasi untuk mencegah kondisi hipoksia jaringan berkepanjangan.
Seiring dengan penurunan berat badan tubuh, yang umum terjadi pada pasien-pasien dengan penyakit paru tanpa intervensi nutrisi yang adekuat, terjadi reduksi pada proporsi berat dan kekuatan diafragma dan otot-otot pernapasan. Kondisi malnutrisi, membuat otot-otot diafragma, interkostal, dan otot-otot pernapasan tambahan mengalami katabolisme untuk menghasilkan energi, sehingga terjadi penurunan pada kapasitas inspirasi. Infeksi, inflamasi, dan penurunan asupan protein dapat berujung pada penurunan pada serum albumin, sehingga terjadi penurunan tekanan onkotik yang dapat menyebabkan edema paru. Malnutrisi juga mempengaruhi parenkim paru melalui penurunan sintesis kolagen dan peningkatan proteolisis yang pada akhirnya akan menurunkan produksi surfaktan dan kolaps pada alveolar paru.
Insufisiensi pernapasan juga ditandai dengan adanya pertukaran gas yang abnormal, sehingga terjadi kondisi hipoksemia (penurunan kadar O2 dalam darah) atau hiperkapnia (peningkatan kadar CO2 dalam darah). Pasien dengan kegagalan paru sering memiliki keterbatasan kapasitas untuk mengeluarkan CO2 dalam tubuh. Oleh karena asupan total energi dan produksi CO2 dipengaruhi oleh asupan makronutrient, maka nutrisi akan mempengaruhi metabolisme dan pertukaran gas.
Pemberian energi berlebihan pada pasien dengan insufisiensi paru yang akut dapat meningkatkan laju metabolik, yang akan meningkatkan konsumsi O2 dan Produksi CO2. Sintesis lemak yang terjadi karena pemberian CO2 berlebihan juga berhubungan dengan produksi CO2 yang berlebih. Pada kondisi ini, pasien berada dalam kondisi stres hipermetabolik. Apabila pemberian nutrisi berlebihan, dapat menyebabkan kondisi hiperglikemia yang akan menurunkan fungsi imunitas tubuh dan meningkatkan terjadinya risiko infeksi. Kondisi ini juga dapat menyebabkan penumpukan lemak dalam hati yang akan menyebabkan fungsi tes hati menjadi abnormal. Oleh karena itu, kondisi hipermetabolik bertujuan untuk menggantikan energi yang terpakai dengan cukup dan tidak berlebihan, dan memastikan pasien tidak kekurangan energi. Kebutuhan energi pada pasien dengan kondisi hipermetabolik berkisar 1,2–1,5 kali dari kebutuhan energi basal. Pemberian energi disarankan bersifat agresif tetapi tidak eksesif. Pemberian energi lebih dari 1,5 kali dari kebutuhan energi basal tidak disarankan karena dapat menambah produksi CO2. Di awal pemberian dapat dimulai dari 80% kebutuhan basal dan mencapai kebutuhan total pada hari ke-2 atau hari ke-3 perawatan.
Kebutuhan cairan pada pasien dapat dihitung berdasarkan usianya. Pada kondisi rendahnya asupan oral, pemberian diuretik, peningkatan sekresi mukus bronkial, dapat terjadi kondisi dehidrasi yang akan mempengaruhi bersihan sekresi paru. Tetapi, restriksi cairan juga terkadang dibutuhkan ada kasus-kasus dimana terjadi edema paru untuk mencegah penambahan volume air pada jaringan paru. Formula padat energi atau dilakukkannya pengentalan hingga 2 kkal/ml dapat dilakukan pada kondisi adanya restriksi cairan.Jalur yang terpilih adalah enteral apabila saluran pencernaan berfungsi dengan baik, dan apabila menggunakan pipa makan maka pipa makan dengan ujung selang pipa pada area intestinal lebih dipilih pada pasien-pasien dengan risiko aspirasi.
Kebutuhan protein pada kondisi hipermetabolik berkisar antara 1,5–3 gram/kgBB/hari (15–25% dari total energi). Untuk mengestimasi laju katabolik protein maka perhitungan 24 jam urine urea nitrogen (UUN) merupakan metode yang paling praktis untuk dilakukan dan dengan perhitungan ini dapat ditentukan kebutuhan protein pasien.7 Pemberian protein yang adekuat sangat dibutuhkan pada pasien-pasien pada kondisi infeksi. Pemberian protein hingga lebih dari 20% dari total energi harian dapat diberikan pada pasien-pasien dengan kondisi infeksi berat dengan tetap mempertimbangkan faktor-faktor parameter lainnya.
Oksidasi karbohidrat, lemak, dan protein akan membutuhkan O2 dan memproduksi CO2 dan H2O. Respiratory quotient (RQ) untuk karbohidrat adalah 1, artinya jumlah CO2 yang diproduksi dengan O2 yang dihasilkan adalah seimbang. Lemak memiliki nilai RQ 0,7, dan protein adalah sebesar 0,8. Sintesis lemak dari karbohidrat dapat terjadi pada keadaan overfeeding, yang akan menghasilkan nilai RQ lebih dari 1. Besarnya energi yang diberikan memiliki dampak yang lebih besar dari komposisi lemak-karbohidrat terhadap produksi CO2, oleh karena itu sangat penting untuk menghitung kebutuhan energi yang dibutuhkan oleh pasien dengan tidak melebihi kebutuhannya.
Pada pasien-pasien yang tidak mengalami hiperkapnia, kalori dapat diberikan dengan perbandingan karbohidrat sebesar 50-60%, protein sebesar 15-20%, dan lemak sebesar 20-30%. Untuk pasien-pasien dengan kondisi hiperkapnia, baik itu dalam kondisi ambulatori ataupun dengan ventilasi mekanik, dapat diberikan karbohidrat sebesar 40-60%, protein sebesar 15-20%, dan 20-40% sebagai lemak dan sisanya untuk protein. Hal yang menjadi pertimbangan pada pemberian energi pada pasien-pasien dengan kondisi hiperkapnia adalah bahwa produksi CO2 lebih dipengaruhi oleh besarnya jumlah energi yang diberikan, semakin besar energi yang diberikan maka produksi CO2 akan semakin besar. Komposisi lemak-karbohidrat tidak terlalu mempengaruhi besaran produksi CO2. Oleh karena itu, hindari kondisi underfeeding ataupun overfeeding pada pasien-pasien dalam kondisi ini. Selain itu, sejumlah karbohidrat juga dibutuhkan untuk menunjang simpanan glikogen pada otot-otot pernapasan agar dapat menunjang proses respirasi dengan baik.
Kondisi penyakit paru yang kronik, seringkali berujung pada kondisi pneumonia dan sepsis. Dari studi epidemiologi diketahui bahwa malnutrisi berhubungan dengan terjadinya pneumonia. Malnutrisi akan menurunkan kemampuan pembersihan bakteri dari paru-paru yang berpotensi untuk menyebabkan infeksi. Selain itu, kondisi malnutrisi juga akan menyebabkan penurunan imunitas selular, perubahan produksi imunoglobulin, dan penurunan dari pertahanan trakeobronkial terhadap infeksi bakteri.
Suplementasi asam amino pada terapi nutrisi, diketahui mampu meningkatkan sistem imunitas tubuh. Pemberian L-arginin memiliki potensi untuk memperbaiki hasil terapi pada TB aktif. Arginin adalah asam amino semi esensial yang dibutuhkan untuk proses penyembuhan, yang biasanya diberikan pada kondisi paska bedah atau trauma. Arginin meningkatkan produksi nitric oxide (NO). Inducible NO synthase mengakatalisasi sintesis NO. dan citrulline dari L-arginin di dalam makrofag dan diaktivasi oleh sitokin, seperti TNF-α dan IFN-ᵞ. No. adalah radikal bebas yang sangat reaktif dan esensial dan berperan sebagai antimikroba dan meningkatkan imunitas tubuh terhadap tumor. NO bersifat tidak stabil dan dieliminasi di urin sebagai nitrat dan nitrit. Pemberian arginin sejumlah 1000 mg (pure L-arginin) secara per oral, selama 30 hari terbukti mampu meningkatkan berat badan, perubahan pulasan tahan asam (semula positif menjadi negatif), mengurangi batuk, dan menunjang keberhasilan pengobatan pada pasien-pasien dengan TB aktif.
Suplementasi seng dikatakan memiliki manfaat pada terapi pneumonia pada pasien-pasien yang diperkirakan memiliki asupan seng yang rendah. Bahan makanan sumber tinggi seng antara lain protein hewani (daging domba, daging sapi, daging ayam), biji labu, bubuk coklat, yogurt, jamur, bayam, dan chickpeas. antara lain suplementasi send dapat diberikan pada dosis 10-20 mg/hari. Seng berperan besar dalam imunitas tubuh. Maturasi dari sel-sel yang memediasi imunitas non-spesifik, neutrofil, dan sel-sel NK. Kemampuan makrofag, fagositosis, dan produksi sitokin juga dipengaruhi oleh defsiensi seng. Seng juga memodulasi pertumbuhan dan fungsi sel T dan B. Selain itu, seng juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan stabilisator integritas membran sel terhadap serangan radikal bebas yang dihasilkan pada proses inflamasi.
Vitamin A dan D berperan dalam modulasi sistem imunitas, termasuk pada pasien TB. Defisiensi vitamin A diketahui terjadi pada pasien-pasien TB. Rendahnya serum retinol menjadi normal kembali setelah pemberian terapi anti tuberkukosis. Kadar vitamin A yang rendah dalam darah mengakibatkan penurunan nafsu makan, menurunnya kemampuan absorpsi pada usus, peningkatan sekresi vitamin A melalui urin pada fase akut reaksi TB. Metabolit vitamin A meningkatkan sitotoksisitas dan proliferasi sel-T. Suplementasi vitamin A dikatakan bermanfaat pada pasien-pasien TB. Dari sebuah penelitian, pemberian 1500 retinol ekuivalen (5000 IU) dalam bentuk retinil asetat dan 15 mg seng dalam bentuk seng sulfat, terbukti memperbaiki efek medikasi terapi obat anti tuberkulosis (OAT) setelah pemberian OAT selama 2 bulan, dan memberikan perubahan positif pada pulasan tahan asam. Vitamin D berperan dalam aktivasi sel T dan sel B. Pemberian 600.000 IU intramuskular vitamin D3 selama 12 minggu terbukti meningkatkan pertambahan berat badan dan perbaikan pada gambaran radiografi pada pasien-pasien TB paru yang sebelumnya mengalami defisiensi vitamin D serta mengkonfirmasi penggunaan vitamin D sebagai tambahan dalam terapi TB. Sedangkan, mengenai penggunaan omega-3-PUFA yang telah dikenal memiliki efek anti inflamasi, penggunaannya sebagai suplementasi TB masih perlu dikaji. Omega-3 PUFA dikabarkan justru meningkatkan suseptibilitas untuk terjadinya infeksi TB melalui jalur menurunkan kemampuan inflamasi makrofag dalam mekanisme pertahanan terhadap Mycobacterium.
-Referensi lengkap ada pada penulis